Menurut Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), Pasal 1, definisi HAM adalah adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahkluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Sedangkan John Locke merumuskan definisi HAM dengan kategori hak atas hidup, kebebasan, dan hak milik (life, liberty, and property) serta pemikiran bahwa penguasa harus memerintah dengan persetujuan rakyat (government by consent).
Jika dicermati secara teliti perbedaan pengertian HAM dari kedua konsep di atas adalah soal cakupan HAM itu sendiri. Dalam UU tentang HAM, pengertian HAM hanya mengarah pada hak yang melekat (tidak terperinci).
Sedangkan John Locke justru lebih jelas memperlihatkan konsep HAM sebagai hak hidup. Pemahaman ini tentunya berimplikasi pada penerapan dalam kehidupan riil. Jika hak hidup sebagai hak dasariah tidak dicabut, maka hak-hak lain yang dikatakan melekat pada pribadi setiap individu juga ikut hilang.
Setiap kewajiban dasar manusia seharusnya tercantum dalam konsep HAM. Kewajiban dasar manusia adalah menghargai martabat seseorang sebagai sesama ciptaan. Harkat dan martabat seseorang adalah sesuatu yang harus dijunjung tinggi, dihormati. Untuk, dalam konsep HAM, hal-hal yang berkaitan dengan martabat manusia harus diberi perhatian khusus.
Menurut saya, HAM yang paling asasi adalah hak hidup. Hak untuk hidup dalam hal ini menjadi penentu hak-hak yang lain. Jika hak dasariah atau hak hidup yang paling mendasar dicabut, maka kesempatan saya untuk mendapat hak-hak yang lain semakin kecil.
Alasan perluasan cakupan Pasal 28 adalah berkaitan dengan cakupan HAM yang dimaksud. Dalam Pasal 28 sebelum diamandemen, konsep mengenai HAM sangat sempit, yakni hanya sebatas HAM sebagai warga negara Indonesia, bukan HAM secara universal. Hal ini tentunya akan berdampak buruk ketika seseorang mengalami problem HAM secara universal. Perbuhan cakupan ini tentunya agar bisa disejajarkan dengan pembukaan UUD 1945.
Selama ini HAM sering disebut hak kodrat, hak dasar manusia, hak mutlak, atau dalam bahasa Inggris natural rights, human rights & fundamental rights, sedangkan dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah Grond Rechten, Mensen Rechten, Rechten van den mens. Istilah-istilah tersebut menitikberatkan pengakuan adanya HAM.
Beberapa tokoh yang mendalami teori hukum kodrat ini. John Locke: sangat jelas merumuskan hak-hak alam itu: hak atas hidup, kebebasan, dan hak milik (life, liberty, and property) serta pemikiran bahwa penguasa harus memerintah dengan persetujuan rakyat (government by consent).
Montesquieu (1689-1755). Montesquieu lebih menekankan perlunya ada pembagian kekuasaan sebagai sarana dalam menjamin hak-hak manusia. Teori pembagian kekuasaan ini kemudian dikenal dgn istilah "trias politica".