Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan featured

HAM dalam Cengkeraman Hukum Positif

11 Oktober 2021   23:31 Diperbarui: 12 Januari 2022   06:22 2450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ikustrasi HAM (sumber: Sumie/Freepik)

Hukum positif pada dasarnya lahir dari pergolakan hukum alam. Sebelum hukum positif dijadikan dasar yuridis kehidupan bersama, hukum alam tentunya mengambil-alih peran pembentukan norma dan aturan yang ada dalam hidup bermasyarakat.

Dalam hukum alam, konsep balas dendam adalah sesuatu yang wajar. Sebagai contoh, ketika si A membunuh keluarga saya, maka saya sebagai perwakilan keluarga akan melakukan hal yang sama -- menghabisi nyawa si A. Di sana, konsep keadilan hadir melalui kalkulasi. Makanya, di zaman tertentu, ada istilah mata ganti mata. Semuanya ini, lahir dari konsep hukum alam.

Akan tetapi, dalam perjalanan waktu, konsep keadilan mulai berkembang. Ketika konsep keadilan berkembang, maka tata aturan untuk mencapai konsep keadilan itu sendiri pun diubah. Hukum rimba yang diterapkan dalam hukum alam pun tidak lagi digunakan. Maka, sebagai gantinya, dibuatlah tata hukum tertulis yang kita sebut sekarang dengan istilah hukum positif.

Gambaran tentang keadilan dalam hukum positif lahir dari pertimbangan yang lebih manusiawi. Jika, si A membunuh keluarga saya, maka hukum positif hadir untuk menengahi. 

Cara-cara bar-bar, kekerasan, dan penentuan kebijakan atas dasar kemarahan atau emosi (balas dendam) ditangguhkan dalam hukum positif. Maka, ketika si A membunuh keluarga saya, maka saya tidak wajib membalas hal yang sama dengan cara membunuh si A. Dari sini, kita mengenal istilah lain dalam konsep keadilan, yakni dilarang main hakim sendiri.

Apa sebetulnya yang hendak digarisbawahi di sini? Apakah hukum positif dalam hal ini hadir hanya sebagai penegah yang berfungsi menangguhkan kekerasan yang sudah pasti dalam hukum alam atau ada sesuatu yang lebih, yang seharusnya dicermati? Hemat saya, kehadiran hukum positif justru dilihat dalam kerangka melindungi hak yang paling mendasar yang kemudian kita namakan sebagai hak hidup -- Hak Asasi Manusia.

Hukum positif dengan demikian dilihat sebagai sarana untuk melindungi hak asasi manusia. Jika dalam hukum alam, kekerasan dimungkinkan atau dengan mudah dilakukan -- misalkan menghabisi nyawa seseorang atas dasar konsep keadilan kuno mata ganti mata -- maka dalam hukum positif, kekerasan adalah sesuatu yang wajib dihindari. 

Dengan demikian, dalam kerangka hukum positif, HAM adalah sesuatu yang harus dilindungi. Kehadiran hukum positif, dengan kata lain menjamin, menjunjung tinggi, sekaligus menghormati HAM.

Bukti yuridisnya apa? Komitmen negara dalam menjunjung tinggi, menjamin, dan menghormati HAM, gamblang hadir dalam turunan aturan Undang-Undang. Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Bab I, pasal 1, dikatakan:

"Dalam Undang-Undang ini, yang dimaksud dengan hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan, serta perlindungan harkat dan martabat manusia."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun