Dokumen Evangelii Nuntiandi menempatkan kontak pribadi sebagai salah metode dalam menghadapi tantangan evangelisasi dunia modern. Metode kontak pribadi diperlihatkan dalam Evangelii Nuntiandi  karena metode ini sudah memberikan pengaruh positif dalam catatan sejarah.
Dalam teks-teks Biblis, peristiwa perjumpaan seringkali diperlihatkan sebagai cara merangkul sesama. Perjumpaan Yesus dan Nikodemus (Yoh 3:1-21), perjumpaan Yesus dan wanita Samaria (Yoh 4:1-42), perjumpaan Yesus dan Zakeus (Luk 19:1-10), perjumpaan Yesus dan Maria Magdalena (Yoh 20:11-18) adalah ilustrasi yang menunjukkan bahwa karakter perjumpaan mengubah perilaku seseorang.
Dalam Evangelii Nuntiandi ada satu pertanyaan retorik yang dikemukan, yakni "Dalam jangka panjang, adakah jalan lain untuk menyampaikan Injil kecuali dengan menyalurkan kepada sesama pengalaman iman personal?" (EN, 46). Pewartaan Injil melalui kontak pribadi dengan orang lain memiliki dimensi jangka panjang. Investasi prospek dari perjumpaan personal mampu menginternalisasi nilai-nilai baru untuk dihidupi dan membantu mengubah perilaku seseorang. Hal inilah yang dilakukan oleh orang-orang, seperti Ibu Sugiarto dan sisiwa-siswi SMP Tree-Candle Jakarta.
Dalam perjumpaan lain, kontak pribadi telah mengubah dan menyelamatkan seseorang. Kontak pribadi Rm. B Kieser, SJ dalam kegiatan pendampingan di Lembaga Permasyarakatan Wirogunan dan Pakem Yogyakarta adalah salah satu metode evangelisasi yang prospektif. Banyak orang yang sudah terkontaminasi masalah sosial, seperti narkoba, sex bebas, korupsi, dan aneka tindakan kriminal lainnya, diberdayakan kembali melalui kontak pribadi berbasis Injili.
Tindakan-tindakan seperti ini sejatinya bertujuan menjaga stamina evangelisasi di tengah tantangan dunia yang serba modern dan membantu mengubah perilaku dan karekter hidup seseorang -- dari tindakan yang buruk menuju hal-hal yang positif bagi kelangsungan hidup kolektif.
Selain kontak pribadi, kesaksian hidup dianggap penting untuk membantu kegiatan evangelisasi. Dokumen Evangelii Nuntiandi menekankan pentingnya metode kesaksian hidup. "Bagi Gereja upaya pertama mewartakan Injil ialah kesaksian hidup yang otentik Kristiani; dalam penyerahan diri kepada Allah, dalam persekutuan yang pantang dihancurkan, dan sekaligus dalam komitmen kepada sesama dengan semangat tanpa batas" (EN, 41).
Kesaksian hidup dimulai dari kontak pribadi antara manusia dan Allah. Kontak pribadi ini terjadi dalam doa -- komunikasi vertikal-internal antara manusia dan Allah. Buah dari interaksi vertikal-internal dengan Allah dalam doa membentuk suatu ritme hidup yang positif. Hal penting yang perlu disadari di sini adalah hasil perjumpaan personal dengan Allah harus dibagikan kepada orang lain. Dengan itu, kesakian hidup yang otentik akhirnya menjadi penting dalam kegiatan evangelisasi.
Dalam teks-teks Kitab Suci, kita dapat menemukan resonansi dari kesaksian hidup yang mampu mengubah banyak orang. Murid-murid menaruh percaya kepada Yesus justru melalui kesaksian hidup yang otentik Sang Guru. "Tetapi Aku mempunyai suatu kesaksian yang lebih penting dari kesaksian Yohanes, yaitu segala pekerjaan yang diserahkan Bapa kepada-Ku, supaya Aku melaksanakannya" (Yoh 5:36).
Hal ini menunjukkan bahwa sebuah komunitas dibangun atau persahabatan terjalin justru lahir dari kesaksian hidup yang otentik. Selain Yesus, Paulus juga memberikan kesaksian hidup yang otentik kepada para jemaat yang dikunjunginya. "Aku adalah orang Yahudi, lahir di Tarsus di tanah Kalikia, tetapi dibesarkan di kota ini; dididik dengan teliti di bawah pimpinan Gamaliel dalam hukum nenek moyang kita, sehingga aku menjadi seorang yang giat bekerja bagi Allah, sama seperti kamu semua pada waktu ini" (Kis 22:3). Paulus juga memberikan kesaksian tentang pertobatannya dimana Allah mengubahnya ketika dalam perjalanan menuju ke Damsyik (Kis 22:6-21).