Masalah sosial dewasa ini adalah kajian yang tidak hanya berkaitan dengan logika ekonomi-bisnis, ketenagakerjaan, dan relasi sosial, tetapi juga bagaimana motif dan dampak dari permasalahan itu futuris.Â
Kesenjangan sosial yang diproduksi oleh kapital tertentu -- kapital budaya, ekonomi, dan simbolik -- pada akhirnya mengantar orang pada keterasingan dalam berelasi. Pola relasi abad ini, selalu menampilkan tren, prestise, dan kelas-kelas sosial.
Manusia juga hanya ditakar dari kemampuannya dalam menggunakan alat-alat produksi. Lebih dari itu, kapital ekonomi dengan senjata berburunya, yakni uang, mampu menayntuni keinginan dan hasrat pribadi seseorang untuk berkuasa.Â
Hal ini, dengan sendirinya menciptakan gap di antara sesama. Istilah kelas atas-bawah, mayoritas-minoritas, pintar-bodoh, kaya-miskin, semakin menjamur. Nilai-nilai moral terutama keadilan sosial pun menjadi sesuatu yang sulit digapai.
Mengatasi problem sosial ini, institusi-instusi pelembagaan moral mulai bekerja. Nilai-nilai keadilan kembali digemakan melalui strategi pembenahan relasi antara sesama. Salah satunya adalah dengan menanamkan kembali semangat Pancasilais hidup bersama yang terpatri dalam kelima sila. Pancasila adalah petunjuk bagi arah hidup bersama.
Gereja dan negara dipakai sebagai solusi kasat mata atas problem sosial. Gereja dianggap sebagai sekolah pendidikan iman (nasihat Injili) dan negara sebagai sekolah penyadaran kembali nilai-nilai kehidupan bersama melalui sila-sila dalam Pancasila. Gereja telah ikut ambil bagian dalam membantu persalinan revolusi sosial, misalkan melalui ensiklik Rerum Novarum, Paus Leo XIII yang diterbitkan pada 15 Mei 1891.
Dalam Pancasila, sekat yang diciptakan akibat oposisi biner diruntuhkan. Selain peran negara melalui nilai-nilai yang dikonstitusikan, peran Gereja juga perlu diperhatikan.Â
Dalam catatan sejarah, campur tangan Gereja dalam meredam masalah sosial telah banyak dilakukan dan berhasil. Komunikasi antara agama dan negara dinilai menjadi langkah solutif dalam mencegah konflik sosial, baik vertikal maupun horisontal.
Maka, hubungan Gereja dan negara Pancasilais -- konteks Indonesia -- adalah soal yang praktis dan bukan prinsipil. Hubungan Gereja dan Negara dilihat sebagai salah satu segi dalam keseluruhan hubungan antara Gereja dan dunia. Gereja dan dunia berhubungan dalam hidup dan usaha masing-masing orang beriman (Bernhard Kieser: 1987).
Gereja dan negara menjalin hubungan dalam pelayanan pada manusia yang sama.Â
Gereja mempunyai interese, bahwa dalam struktur negara setiap orang mendapat kelonggaran untuk menjalankan keterlibatan politiknya, agar relasi dengan Allah bisa terwujud. Moral sosial adalah upaya penyadaran kembali akan nilai-nilai hidup bersama yang digilas oleh kekuasaan dan ketamakan.  Â