Tahun 1974, Pak Bonifacius Suranto secara resmi diangkat menjadi pamong wilayah Kepatihan. Pekerjaan rumah, seputar pembentukan iman umat, pengorganisasian, pengkaderan dan pembinaan umat mulai digerakkan. Akan tetapi, kendala masih dijumpai oleh karena jumlah umat yang masih sangat terbatas.
Oleh karena jumlah umat Katoliknya yang masih sangat sedikit (sekitar 30-an KK) dan jumlah pemuda-pemudinya juga sedikit sekali -- di mana di antara mereka itu kebanyakan tidak bersedia menjadi pengurus wilayah -- maka kepengurusan saat itu lebih berpola single fighter (pamong adalah segalanya).
Walaupun seorang diri Pak Suranto berhasil mempersiapkan baptisan wilayah dengan membaptis 11 orang dan mempersiapkan 2 (dua) pasang calon pengantin. Pada masa ini pula kelompok Wanita Katolik dibentuk dengan diketuai Ibu Padmosugito. Di samping itu, muda-mudi Katolik Kepatihan juga banyak membantu menghidupkan wilayah tersebut.
Atas inisiatif sendiri mereka ikut berpartisipasi dalam berbagai kegiatan dan perlombaan, menyelenggarakan acara-acara bersama dengan wilayah lain serta merayakan Natal atau Paskah, maupun kegiatan lain, seperti peziarahan yang menjadi basis tanggung jawab muda-mudi.
Masa kepemimpinan Pak Suranto adalah sebuah persiapan awal menuju sebuah ruang prospek yang didambakan -- Kepatihan harus mampu berlomba dengan wilayah-wilah lain, terutama dalam hal organisasi, keterlibatan di paroki, pengembangan iman umat, kaderisasi dan menemukan karakter khusus wilayah yang nantinya dikenal dengan nama Organisasi Bhakti Kasih. Pada tahun 1979, jabatan pamong wilayah beralih ke tangan Pak JB. Darmanto.
Pak JB. Darmanto adalah hasil kaderisasi tidak langsung dari Pak Suranto. Saat jabatan dialihkan ke Pak Darmanto, Pak Suranto membantu pelayanan di Paroki, yakni sebagai prodiakon. Menariknya, tidak seperti pamong-pamong wilayah sebelumnya -- di mana kebanyakan enggan untuk menerima jabatan pamong wilayah -- Pak Darmanto justru memperlihatkan sesuatu yang sama sekali berbeda.
Totalitas pemberian diri untuk pembangunan wilayah, kebangkitan organisasi, pengkaderan serta organisasi-organisasi yang yang menunjang nafas Kepatihan semakin terlihat. Akan tetapi, istilah single fighter masih menjadi bahasa lugas untuk mendeskripsikan perjuangan Pak Darmanto. Hal ini memang diakuinya karena saat itu (1979 -- 1984), di mana lingkungan belum terbentuk. Karena ketiadaan ranting-ranting kepengurusan, Pak Darmanto harus berjuang sendiri.
Di sela-sela kepemimpinannya, umat wilayah Kepatihan saling mengenal terutama lewat kegiatan-kegiatan kolektif, seperti latihan koor, organisasi yang bergerak di lajur pendidikan serta keseringan untuk tampil pada setiap kegiatan paroki. Pada periode kepemimpinan Pak Darmanto, banyak anak dari wilayah Kepatihan yang diberi kesempatan untuk mengenyam pendidikan.
Untuk membiayai pendidikan anak yang kurang mampu, Pak Darmanto berjuang dengan melakukan penggalangan dana. Door to door, dana dikumpulkan, kemudian dihibahkan untuk keperluan pendidikan anak yang memiliki kerinduan untuk sekolah.
Dengan kata lain, periode Pak Darmanto adalah periode kebangkitan umat -- dari anak-anak hingga orang dewasa. Dikatakan demikian, karena pada periode ini, organisasi mulai terbentuk, pelayanan umat mulai dioptimalkan dan umat merasa hidup dan aktif dalam berbagai kegiatan menggereja. Bahkan, karena dilihat mampu dan dipercaya oleh umat, Pak Darmanto kemudian dipilih oleh Rm. Y Madyosusanto, SJ (1980-1985) menjadi Anggota Panitia Pengembangan Pembangunan Gereja St. Antonius Purbayan (1980).
Kepercayaan itu terus berembun, hingga tahun 1986 -- 1987, Pak Dar dipilih sebagai Bendahara Pembangunan. Di samping itu, perhatiannya pada dunia pendidikan terus ditingkatkan. "Semua anak wajib sekolah. Soal biaya, akan dipikirkan kemudian," kata Pak Dar  (panggilan akrab Pak Darmanto). Pada periode enam tahun kepemimpinannya, Pak Darmanto menemui suatu fenomena yang janggal, terutama berkaitan dengan dunia pendidikan.