Impian para peserta didik yang baru pelan-pelan mulai terlihat. Kebijakan beberapa sekolah untuk membuka kembali pintu gerbang pembelajaran tatap muka (PTM) tentunya melegakan kebutuhan skaligus keinginan para peserta didik.Â
Bagi para peserta didik yang sudah memulai kegiatan pembelajaran, PTM menjadi sebuah tantangan. Sementara bagi para peserta didik yang baru, PTM menjadi awal transformasi dunia pendidikan.
Sebanyak 610 sekolah di wilayah DKI Jakarta mulai menerapkan sistem pembelajaran tatap muka (PTM) secara terbatas pada Senin (30/8/2021) dengan menerapkan protokol kesehatan (prokes) yang ketat.Â
Upaya ini, sejatinya dilakukan untuk mengantar para peserta didik masuk dalam ruang pendidikan formal. Diketahui selama masa pandemi Covid-19 dan penerapan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM), para peserta didik jauh dari pengawasan sistem pendidikan yang sesungguhnya.
Di kota-kota besar dimana grafik penularan Covid-19 menanjak, kegiatan PTM belum bisa dilakukan sepenuhnya. Meski dengan label penerapan prokes yang ketat, ketakutan dan kecemasan akan terinfeksi virus, tetap menjadi perhatian serius.Â
Keinginan yang menggebu-gebu dan rasa lelah karena model pembelajaran dalam jaringan (daring) tidak terlalu banyak membantu para peserta didik. Bentrokan kebutuhan di dalam rumah, antara kepentingan ekonomi dan jadwal sekolah daring, kadang-kadang menjadi problem internal masing-masing keluarga.
Untuk itu, keputusan untuk kembali membuka kegiatan PTM adalah sebuah jalan keluar yang minus-malum. Artinya, dengan mekanisme penerapan sekolah terbatas (kuota peserta, waktu, dan intensitas dialog pengetahuan), kebijakan PTM juga mungkin tak terlalu membantu para peserta didik. Kebijakan PTM sesungguhnya tetap membawa-serta rasa cemas, takut, panik, was-was, dan ketidakpastian.Â
Baik para peserta didik, maupun pendidik, keduanya tetap ada dalam kungkungan ketakutan. Kegiatan PTM, hemat saya tetap "menangguhkan" proses dialog pengetahuan yang sesungguhnya.
Penerapan PTM sesungguhnya dibuka karena alasan penurunan level kebijakan pemerintah. Hal ini berarti, substansi masalah tetap ada, yakni virus korona.Â
Sejak satu tahun yang lalu, pengalihan sistem pendidikan dari PTM menuju sekolah daring, pada dasarnya dikebumikan karena alasan pandemi virus korona. Alasan terkait penurunan level kebijakan pemerintah, tidak menjadi hulu dari alasan sekolah daring.Â
Jadi, penerapan PTM dengan alasan penurunan level kebijakan pemerintah terkait penularan pandemi Covid-19, sejatinya bukan sebuah pilihan yang bijak.