Kata kita. Ini terlalu sempit, sumpek, dan bikin mumet. Kata-kata, dalam runutan hari selalu dipangku agar mampu menjembatani suasana hati, setting pikiran, mood untuk hari ini, dan tangga untuk masa depan. Meski sempit dalam frasa "kata kita," kata selalu menjiwai hari-hari kita. Kata dan kita adalah bingkisan yang disiapkan untuk selamanya. Kita memulainya dari kata menuju kita.
Sejam masuk dalam obrolan, sebentar nyentrik, lalu berubah serius. Kita seringkali larut dalam pembicaraan yang kadang basi diucapkan. Tapi, itu semua lahir dari ritme obrolan kita. Kita tak pernah bosan-bosannya ngobrol. Setiap kesempatan, ketika dekat tak disekat, kita berdiskusi panjang lebar. Isinya soal bagaimana kita, sekarang, dan hari berikutnya. Akan tetapi, waktu selalu mengingatkan kita untuk berhenti, lalu esoknya, kita pun berikhtiar 'tuk memulainya kembali.
Dalam setiap rajutan kata yang dibuka dengan canda, kita selalu mengumpat rasa santun. Rasa santun itu soal isi pembicaraan yang terlalu berat untuk digapai. Mengapa? Karena kita sebetulnya tengah mempersiapkannya. Jika aku mulai membuka lembaran yang kusam, lalu kubaca dengan suara yang sedikit lantang dan serak, kamu tak mau mengaktifkan indera. Bagi kamu, semuanya itu terlalu jauh untuk dipikirkan.
Ya, kata kita. Bagiku, menyulam kata kita dalam sebuah bahasa tulis adalah sebuah bentuk ejekan. Kamu sebetulnya tengah menguji ingatanku agar aku mampu menarasikan apa yang pernah terlintas, dibenamkan, dan dipulas dalam ingatan. Bagiku, hal seperti ini bak menguras air laut. Semakin aku membenamkan ingatan, semakin aku tak mampu melukiskannya dengan lesam. Kata kita, cukup luas untuk dibahasakan.
Ada banyak kata yang selalu kita beri tanda bintang biar dingat. Ada kata tanggung jawab, dewasa, komitmen, masa depan, dan masih banyak lainnya. Aku sungkan menyebutkan yang lain itu. Pokoknya, kita selalu diapiti kata-kata. Bagi kita, kata-kata selalu bernyawa. Kata boleh saja menguji. Kata boleh saja mengingatkan, mengukuhkan, mengikat janji, tapi kadang mengecewakan. Ketika kata-kata kita lahir untuk mengecewakan, kita cenderung saling menatap. Kita cenderung bungkam. Kita cenderung tak saling sapa, lalu memunggungi ada bersama. Itu semua karena kata. Mungkin pilihan kata.
Untuk sebuah relasi, kata-kata adalah tali-temali yang mengikat kita. Keakraban kita pun, saya ingat, seringkali disadur dari pilihan kata. Kamu selalu mengejar keberadaanku dengan kata kapan, untuk sebuah kepastian. Kamu menguji, menyentak, membangunkan sel-sel keberanianku yang cenderung tidur dicambuk sibuk dengan bertanya kapan. Kata kita, mungkin terhimpit karena ketidaktegasanku; karena ketidakberanianku, juga karena aku tak pasti.
Aku menyimpan semua memori kata kita dalam ingatanku. Aku memahatnya dalam kenangan. Setiap hari, aku membolak-balikkan setiap halamannya agar kuingat dengan sempurna untuk sebuah pilihan yang pasti. Aku selalu ingat. Kita dan kata, juga ingatan, adalah satu. Untuk kita, aku memulainya dengan kata. Terbit dengan kata, terbenam pun, kita tak pernah jauh dari kata. Kamu mungkin menunggu akhir dari kata kita. Jangan masukan pilihan itu. Kita dan kata tak pernah berakhir.
Kata kita untuk kita. Jika aku memikirkan ide tentang "kata kita" yang kamu usulkan ini, aku pun merasa tak luput dari masa depan. Menyuguhkan frasa "kata kita" berarti mendekatkan masa depan. Kataku: "Jangan terlalu dekat dengan masa depan!. Itu justru membuat kita tak siap memulainya. Itu justru membuat kita cepat lelah ada bersamanya. Beri jarak untuk masa depan agar kita mampu melihatnya secara menyeluruh, termasuk sisi hitam dan putihnya." Kita perlu memulainya dengan berdiskusi, duduk bersama, dan serius membicarakannya. Itu tak jauh dari kata kita. Masa depan itu soal kata kita dari saat ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H