Aku duduk terperanga ketika pesan whatsapp itu mampir di ponselku. "Bagaimana mungkin?" kataku. Dia sempat mengabariku seminggu terakhir soal keberadaanya. Ia betul. Katanya, ia hendak ke daerah Padang Bulan. Di sana, ia hendak menghabiskan waktu senggangnya sendiri. Tapi aku tak tahu pasti, persisnya di mana.
"Sudahlah, dia pasti baik-baik saja," kata Vicko. Vicko itu teman baikku ketika kuliah di Kota Gudeg Yogyakarta. Ketika masih kuliah, kami sempat bertukar pikir soal budaya. Perbedaan budaya, sempat menjadi samudera tak terselami untuk kami. "Untuk apa? Untuk apa bicara soal budaya yang kadang mengekang imajinasi dan kreativitas?" Itu katanya dulu.
Aku menerima pesan singkat itu tadi pagi. Aku lupa persis jam berapa, tapi seingatku selesai sarapan. Waktu aku menerima pesan singkat itu, Kota Datar ini (Kota Medan) sempat diguyur hujan semalam suntuk. Hingga pagi menyeka tirai, genangan air di lorong-lorong basah seputar Deli Serdang riuh dibidik kesibukan. Aku sadar kalau pesan jingga dan ungu sering datang dan pergi ditemani hujan.
Sejak kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) dikebumikan awal Juli hingga sekarang, ruang publik kelihatannya cukup lengang. Akan tetapi, ada sesuatu yang sulit dikemas nalar. Itu seputar angka pasien positif. Seperti ada yang aneh. Gumamku, bagaimana mungkin, semakin mengerek sebuah aturan, semakin banyak warga yang didapati terkonfirmasi positif Covid-19. Itulah yang terjadi akhir-akhir ini. Beberapa warga di sekitar tempatku melakukan isolasi mandiri (isoman). Kita pun ikut mengemas diri.
Pesan singkat tadi pagi adalah bingkisan cemas. Berharap Tuhan memberinya waktu sekali lagi. Ia pernah bilang bahwa ia akan mengajariku banyak hal. Itu pesan terakhirnya sebelum ia pergi. Tapi, aku sepenuhnya tak pernah menyangka bahwa ia akan pergi sejauh itu. Rasanya jauh meski aku merasa berada di tempat yang sama. Ketika dia divonis dan disekap di ruangan berakhol itu, jarak seperti tak lagi dipangku. Di sana, persis di ruang ICCU, pertempuran dimulai.
Aku selalu berimajinasi kalau mereka yang divonis Covid-19 dan dirawat di rumah sakit sendirian, perlu dihibur. Kadang-kadang mereka mengidap penyakit bungkam dan trauma, ketika dikunci sendirian. Tapi, itu prosedur medis. Menurut tim medis, mereka harus diisolasi, diberi jarak, dan dibiarkan sendiri. Terapi ini sepenuhnya dijawab amin oleh semua orang. Yang penting bisa sembuh.
Soal Covid-19 ini, karena saking jengkelnya, aku selalu melempar pertanyaan ini ke sahabatku: "Apakah kamu pernah bermimpi kalau wabah ini akan berakhir?" Lalu, "Kapan persisnya?" Ketika pertanyaan ini saya lontarkan, ketahuan kalau temenku lama mikir karena gak sempat bermimpi soal kapan pandemi ini berakhir. Situasi ini memang membosankan dan mengisolasi ruang gerak. Banyak orang pergi untuk selama-lamanya hanya karena dikekang dan dirajam kata "positif Covid-19."
Jika sahabat, saudara, keluarga, teman, atau orangtuamu terpapar Covid-19, itu pasti membahayakan. Iya, bahaya lantaran pleonasme-nya. Akhirnya, kita pun dituntut agar bisa berjumpa secara virtual. Kita hanya bisa berjumpa dalam satu kalimat singkat di portal media sosial. Selebihnya jaga jarak, dan jauhi kerumunan. Tugas kita yang belum terpapar, ya menyemangati mereka yang terpapar. Itu saja. Yang lain tak sepenuhnya berhasil karena alasan bukan ranahku.
Sabtu kali ini menyeka pesan. Satu pesan untuk beragam alasan. Sabtu, pesan, dan balasan adalah tiga frasa bermakna. Bermakna karena sempat dibaca lalu tak dibalas. Di sekujur Sabtu, kita hanya bisa membaca pesan. Jika pesan pilu, kita pun ikut dirangkai pilu. Membaca pesan di akhir pekan adalah protokol dunia menulis agar tak dibekuk jenuh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H