Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sabtu dan Akhir Pekan yang Menggoda

17 Juli 2021   09:53 Diperbarui: 17 Juli 2021   10:06 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi komitmen keluarga untuk tetap rumah selama pandemi. Foto: kompas.id.

Di sini. Di gedung berlantai dua, dengan gagang penguat sendi tiang rumah berbahan baja kekar, aku tetap di sini. Kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) sejatinya tak jauh dari ikhtiar bersama, yakni mencegah virus. Dari instruksi demi instruksi dengan aneka pemberatan administrasi jalan-jalan, PPKM sebetulnya menyuruh kita untuk diam di rumah.

Tapi, saya sudah divaksin. Saya sudah mendapatkan vaksin kedua. Saya sudah dirapid antigen, di-PCR, dan aneka sinyal medis yang membekukan mobilitas raga seharusnya membuat kita tetap waspada. Meski sudah dua kali divaksin dengan tiket pergi-pergi, itu tak berarti kita sudah selesai dengan perang melawan pandemi. Vaksin itu jenis kekebalan ekstra yang ditambahkan agar kita tak mudah lumpuh seketika ketika diserang virus. Berhenti di situ.

Ada banyak orang yang dengan bangga menunjukkan kartu vaksin untuk bisa menikmati perjalanan ke mana-mana. Ada banyak orang yang dengan bangga menunjukkan hasil tes rapid antigen atau PCR kepada petugas agar bisa lolos mencapai pulau seberang. Jika semua orang berkomitmen untuk berhenti berkeliaran, saya yakin kita mampu mendapatkan apa yang kita harapkan dari perang melawan pandemi.

Akan tetapi, manusia selalu mempunyai alasan. Manusia selalu mempunyai cara. Manusia selalu mempunyai trik 'tuk mengelabui. Jika tak diizinkan, protes akan mengular. Viralkan. Ini tak logis. Kenapa seribet ini? Macam-macam pertanyaan yang dibongkar-bangkir. Semua serba salah. Kapan kita merdeka? Kapan kita bisa bebas jalan-jalan? Kapan saya boleh menjajakan dagangan saya? Semua serba tak pasti. Kita pun dikungkung. Kita merasa dilema. Kita bosan. Pokoknya, ujung-ujung juga kita.

Jika salah satu dari seratus orang ngotot dan ngeyel untuk jalan-jalan, tak mau di rumah, pelesiran ke mana-mana, 99 lainnya siap-siap menanggung resiko. Sembilan puluh sembilan dari jumlah seratus orang yang menetap di suatu tempat bisa dengan mudah terpapar karena ulah satu orang. Maka, jika 100 orang dari seribu orang yang menetap di sebuah tempat terpapar Covid-19, otomatis ruang gerak sosial akan lumpuh seketika. Ulah satu merusak yang lain. Untuk itu, sekali lagi di akhir pekan, mending tetap di sini. Di rumah saja.

Sabtu adalah waktu luang yang tak mudah diborgol. Biasanya, komitmen menuju akhir pekan, mudah lumpuh di hari Sabtu. Ketika Sabtu membuka mata, rencana dadakan tiba-tiba dikupas. Ke mana hari ini? Makan di mana? Belanja di mana? Nongkrong di mana? Ayo main ke tempatku! Banyak tawaran, juga banyak opsi yang dibuat-buat. Kenapa tak mau di sini saja? Kenapa tak mau di rumah saja? Desis ego toh bergumam: "Persetan dengan virus! Hoaks!"

Sabtu sebetulnya memberi lencana untuk komitmen kita sepanjang Senin menuju Jumat. Sabtu memperkuat komitmen dan menurunkan kadar kemauan untuk pelesiran. Sabtu adalah alat ukur: apakah kita sanggup mengakhiri waktu seminggu untuk tetap di rumah saja. Meski Sabtu menggoda dan mempesona, untuk kali ini biar alam dan segala keindahannya yang menikmati. Kita cukup dari rumah. Kita cukup membuka pintu dan jendela lalu mengagumi Sabtu. Berhenti di situ!

Aku duduk dan memasang kuda-kuda pengelihatan. Membuka berkas-berkas persiapan menuju akhir dari geliat pagebluk virus corona. Aku sempat menggoyang-goyang kaki. Meliuk-liuk badan. Membuka laptop lalu menulis. Aku harus mampu menceritakan kepada generasi setelahku tentang situasi yang kami alami saat ini. Ketika saya menjadi saksi, saya perlu bersaksi. Generasi setelahku pasti tak tahu betapa berat dan susahnya menyatukan komitmen bersama melawan pandemi ini. Kerena saya memilih di rumah saja, saya mempunyai bekal tuk menceritakan, mengabari, dan memberikan kesaksian satu per satu bagaimana generasi 2020 melawan virus.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun