Kepemimpinan dalam terang Konsili Vatikan II diperjelas dengan meninjau kembali tritugas kepemimpinan Yesus, yakni sebagai Imam, Nabi, dan Raja. Dalam hal ini, Konsili berusaha menjelaskan sisi historis perkembangan pemahaman mengenai tritugas kepemimpinan Yesus.
Dalam tulisan Perjanjian Baru, tritugas kepemimpinan Yesus merupakan konstruksi teologis, dan bukan pewahyuan ilahi -- hanya Ibrani yang secara eksplisit menyebut Yesus sebagai Imam. Maka, jabatan Imam dalam Gereja juga bersumber dari tritugas kepemimpinan Yesus sendiri. Dengan demikian, Konsili juga menempatkan tritugas kepemimpinan Yesus sebagai Imam, Nabi, dan Raja sebagai sebuah struktur dalam teologi kepemimpinan dalam Gereja.
Konsili juga menegaskan hubungan antara pelayanan Yesus dan pelayanan imamat. Seperti halnya misi Yesus datang dari Bapa, misi pelayanan imamat juga tentunya bersumber dari Yesus. Dengan kata lain, misi pelayanan imamat meniru (imitate) misi pelayanan Yesus dari Bapa. Akan tetapi, pertanyaannya adalah bagaimana pelayanan Umat Kristiani berhadapan dengan Gereja lain?
Berhadapan dengan Gereja lain, ada banyak diskusi yang berusaha untuk menyatukan model kepemimpinan yang hendak dibangun. Salah satunya adalah jabatan Uskup. Dalam hal ini, Konsili menegaskan beberapa hal, yakni 1) Gereja terbuka berdialog dengan Gereja lain mengenai teologi kepemimpinan, 2) transformasi pemahaman mengenai Uskup sebagai lambang tatanan tertinggi dari Magisterium Gereja Roma, dan 3) tabhisan Uskup menghadirkan tritugas Yesus. Selain itu, Gereja Katolik dan Anglikan juga membahas tabhisan perempuan. Akan tetapi, Konsili tidak memberikan jawaban pasti mengenai tabhisan perempuan karena berbagai alasan, salah satunya mengenai succecio apostolica.
Konstruksi teologi imamat dan kepemimpinan dalam Gereja Katolik kemudian mengarah pada pemahaman mengenai arti dari pentabhisan. Apa arti pentabhisan? Bagaimana struktur pelayanan dalam Gereja? Bagaimana peran wanita dalam pelayanan Gereja? Tabhisan dapat dipahami dengan baik dan benar jika kita merefleksikannya dalam kerangka Gereja secara menyeluruh dan di bawah terang Roh Kudus.
Dengan kata lain, tabhisan merupakan tindakan Roh Kudus membangun keselamatan khusus dalam komunitas. Maka, perlu dipahami bahwa kharisma tabhisan tidak hanya untuk seorang individu saja, melainkan untuk kebaikan Gereja. Sedangkan berkaitan dengan struktur pelayan resmi dalam Gereja masih bersumber pada mekanisme lama, yakni Diakon, Imam, dan Uskup. Dalam hal ini, Konsili juga menekankan mengenai pentingnya peran awam dalam kegiatan pelayanan Gereja.
Mengenai struktur pelayanan ini, problematika tabhisan wanita semakin dicermati. Kongregasi Pertahanan Iman (CDF) bahkan menjawab problem ini dengan beberapa pernyataan, yakni 1) wanita tidak ditabhiskan, 2) tradisi menjadi argumen kuat bagi Umat Katolik, dan 3) Yesus adalah laki-laki -- imam berfungsi sebagai persona Christi. Â
Konsili Vatikan II juga berusaha melihat kembali model pelayanan imamat dalam Gereja. Mengenai ini, semuanya dibicarakan dalam kerangka "aggiornamento". Di sini, semua anggota Gereja mendapat peran dalam melaksanakan misi Kristus di dunia. Pelayanan Gereja tidak lagi bersifat eklesia-sentris, tetapi berusaha merangkul semua umat untuk bersama-sama membangun persekutuan dan misi yang dipercayakan Kristus.
Pembaruan pelayanan dalam hal ini lebih pada kesadaran Gereja untuk membuka diri. Semua pelayanan Gereja tentunya bersumber dari Yesus. Melalui Sakramen Baptis, kita diikutsertakan dalam imamat Kristus. Maka, semua Umat Beriman yang telah dibaptis, memiliki hak, tugas, dan kewajiban yang sama dalam memperjuangkan misi keselamatan melalui Yesus Kristus.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H