Dalam mengukur seberapa dalam dan objektifnya sikap hati seseorang, diperlukan sebuah alat ukur untuk menguji. Proses pengujian ini tidak serta-merta menjadi doktrin baku dalam menangani berbagai skala problem tertutama yang berkaitan langsung dengan kriteria benar-salah atau baik-buruk. Takaran moral di sini berperan penting untuk menguji, apakah seseorang bertindak benar atau salah, bertindak baik atau buruk.
Berdasarkan pengalaman dan pengamatan, kiranya dapat dikatakan bahwa sekurang-kurangnya dapat mengenal ukuran yang berbeda, yakni ukuran yang dipakai dalam hati kita (conscientia) dan ukuran yang dipakai publik dalam mengevaluasi perbuatan kita. Dalam hati, kita menggunakan standar subjektif, sedangkan orang lain mungkin memnggunakan takaran yang lebih objektif dan tentunya sifatnya umum dalam memberi penilaian moral.
Apabila kita menilai seseorang, kita biasanya bertolak dari kelakuannya yang dapat kita lihat atau dari hasil perbuatannya. Sebagai contoh, kita melihat bahwa seseorang biasa masuk kelas atau kantor tepat waktu, selalu bersikap sopan dan ramah terhadap sesama, bertanggung jawab dan realistis. Sikap-sikap seperti ini sering menjadi opsi evaluasi kita untuk orang lain.
Akan tetapi, apakah kelakuan terpuji itu sudah pasti membuktikan bahwa orang itu berbudi luhur? Bahwa apa yang dilakukannya memang benar-benar datang dari kedalaman hatinya, kita masih meragukannya. Kelakuan lahiriah tidak cukup untuk memberi penilaian definitif atas perilaku seseorang. Motivasi tindakan atau karakter baik yang lahiriah itu, wajib digeledah. Motivasi tindakan moral harus benar-benar jauh dari intrik-intrik tertentu. Tanggung jawab moral dan kebebasan adalah dua elemen penting dalam menilai tindakan moral seseorang.Â
Moralitas adalah sikap hati orang yang terungkap dalam tindakan lahiriah -- mengingat tindakan moral merupakan ungkapan sepenuhnya dari siakp batin. Moralitas tampak jika seseorang mengambil sikap yang baik karena ia sadar akan kewajiban dan tanggung jawabnya, dan tentunya bukan karena ia ingin mencari untung. Moralitas adalah sikap dan perbuatan baik yang benar-benar tanpa pamrih. Hanya moralitaslah yang bernilai secara moral.
Semua tindakan dengan motif pamrih selalu dianggap tidak posistif. Jadi, tindakan-tindakan pamrih dengan sendirinya belum membuktikan apa-apa mengenai budi dan karakter seseorang. Perwujudan moral seseorang akan teruji ketika ia mampu memberi dan tanpa mengharap balas.
Dalam mengevaluasi tindakan moral, seseorang selalu dihadapkan di depan dua hakim, yakni hakim luar dan hakim dalam. Hakim luar adalah masyarakat luas yang berusaha memberi masukan sekaligus penilaian umum-etis-objektif atas tindakan seseorang. Mereka antara lain orangtua, sekolah, lingkungan dan adat-istiadat. Sedangkan hakim dalam adalah bisikan dari dalam diri seseorang terutama dalam mempertimbangkan sebuah keputusan atau penilaian. Bisikan ini sejatinya berisi perintah (imperative) atau larangan (warning). 'Hakim dalam' sering disebut suara hati. Ia berbicara dari dalam -- dari kesungguhan, dari kejujuran dan dari pertimbangan yang bebas dan bertanggung jawab.
Dalam menjalankan fungsinya, suara hati berperan ganda, yakni menentukan nilai dan bertindak. Dalam menentukan nilai atau bobot sebuah tindakan, suara hati berperan untuk mempertimbangkan. Pertimbangan ini dapat dilakukan dengan mengurutkan penilaian berdasarkan bobot dan kepentingan. Hirakisasi pertimbangan ini pun selalu praktis dan pribadi. Mempribadi menuntun orang pada sikap bebas -- diberi ruang untuk menemukan sendiri kaidah atau patokan pertimbangan moral yang dianggap baik-benar secara personal-reflektif. Akan tetapi, kadang kita menemukan bahwa pertimbangan nilai tidak sepenuhnya jelas, dan di sisi lain, keputusan itu sendiri tidak boleh ditunda. Maka, pertimbangan nilai wajib diimbangi dengan tindakan konkret.
Sebaliknya, berdasarkan pertimbangan, orang biasanya memutuskan dan bertindak. Maka, prinsip negasi berlaku -- memilih yang satu dan menolak yang lain. Keputusan yang menentukan nilai adalah tindakan yang teoritis, sedangkan keputusan untuk bertindak adalah praktis. Praktis memiliki arah futuris, tetapi mulai bergerak kini dan di sini. Bertindak memberi pendasaran pada analisis kelanjutan dari evaluasi keputasan atau tindakan moral yang kita ambil. Praktis dalam hal ini tetap dalam koridor dapat dipertanggungjawabkan (rational).
Kaidah baku untuk dipertanggungjawabkan secara logis membuka ruang baru untuk dipadukan dengan pertimbangan nilai. Maka, unsur teoritis (pertimbangan nilai) dan praktis (tindakan) adalah dua kanal di mana tindakan moral melalui suara hati berbicara. Dengan kata lain pertimbangan nilai lahir dari penilaian umum dan sebaliknya tindakan lahir dari keputusan pribadi. Dalam arti ini pun suara hati bertanggung jawab atas perbuatannya. Lahirnya keputusan suara hati diback up oleh tindakan dan penilaian umum.