Rencana pembelajaran tatap muka (PTM) yang akan dimulai pada Juli 2021 harus tetap dalam pengawalan yang ketat. Instruksi Presiden Joko Widodo, dalam hal ini perlu diterapkan dan dihidupi secara baik. Instruksi ini dijaga mengingat klaster sekolah bisa saja menjadi masalah baru dalam penanganan pandemi Covid-19.
Sejatinya ada beberapa instruksi Presiden terkait proses PTM pada bulan Juli mendatang. Pertama, soal kuota jumlah pelajar yang boleh melaksanakan PTM. Presiden mengingatkan agar uji coba pembelajaran tatap muka hanya memperbolehkan 25 persen dari total siswa. Ini artinya pengetatan aturan protokol kesehatan (prokes) harus dikawal secara orang per orang. Dengan jumlah siswa yang terbatas, pihak sekolah dengan mudah mengontrol dan mengawas para siswa selama kegiatan belajar-mengajar berlangsung.
Kedua, durasi waktu PTM selama sepekan. Menurut Presiden, selama PTM berlangsung durasi waktu yang diberikan hanya dua hari dalam waktu satu Minggu. Dua hari yang dianjurkan diharapkan mampu meminimalisir kecolongan atau kemungkinan para pelajar dan tim pengajar terpapar Covid-19. Durasi waktu yang tidak terlalu padat juga memberi suasana aman bagi setiap orang.
Ketiga, durasi waktu kegiatan belajar-mengajar yang terbatas. Selama masa uji coba PTM, durasi waktu yang diberikan hanya dua jam -- tidak boleh lebih. Para peserta didik dan pendidik diharapkan untuk tidak memperlebar durasi waktu ini untuk kepentingan apapun. Itu artinya, setiap hari yang diizinkan, proses PTM harus dijalankan secara disiplin. Konsekuensinya, guru dan murid harus hadir tepat waktu. Jika kegiatan belajar-mengajar dimulai tepat waktu, maka proses uji coba ini benar-benar memberi nilai yang bermakna bagi sistem pendidikan kita di masa pandemi Covid-19.
Keempat, rencana uji coba PTM tetap melalui keputusan orangtua masing-masing peserta didik. Ketika menjadi pilihan atau opsi, itu artinya PTM itu sendiri tidak menjadi sebuah kewajiban yang harus dilakukan. Jika orangtua tak mengizinkan anaknya masuk sekolah karena alasan keselamatan anak, maka hal itu menjadi tanggung jawab para orangtua dan keputusan itu perlu dihargai. Dalam hal ini, PTM tetap menjadi sebuah keputusan melalui persetujuan orangtua.
Kelima, vaksinasi menjadi persyaratan proses PTM boleh dibuka. Vaksinasi dalam hal ini harus diterima oleh semua guru. Persyaratan ini disampaikan mengingat proses penyebaran Covid-19 sangatlah mudah. Jika seorang guru yang mengalami sakit dan berkontak dengan peserta didik, maka hal itu bisa menjadi pemicu penularan Covid-19 dan melahirkan klaster baru, yakni klaster sekolah. Kontak tanpa mekanisme prokes yang ketat, memberi peluang pada proses penyebaran.
Lima instruksi Presiden tersebut akan berhasil jika dilakukan secara ketat dan terawasi. Lima poin penegasan Presiden ini, tidak lain menjadi vaksin ekstra dalam upaya melawan pandemi Covid-19. Kekuatan utama dari semua keputusan ini ada pada poin kesadaran menaati protokol kesehatan yang ada. Jika anak-anak sudah dilatih dari rumah untuk manaati prokes, hemat saya, semua aturan yang sama bisa dilakukan di sekolah.
Uji coba sistem pembelajaran tatap muka adalah sebuah keputusan yang menantang. Keputusan ini tentunya memiliki konsekuensi yang besar terutama bagi keselamatan banyak orang -- terutama anak-anak. Optimalisasi materi ajar dan disiplin waktu sejatinya mampu membuat proses uji coba PTM berhasil dengan baik. Guru dengan demikian harus bekerja ekstra agar menyajikan menu pendidikan yang bergizi selama ruang gerak proses pendidikan itu diperkecil. Tugas orangtua pun tetap ekstra. Jika dalam pengawasan yang rutin dan ketat, para peserta didik mungkin akan mendapatkan sesuatu yang berharga dari sistem pendidikan yang dicanangkan. Jika tidak, keselamatan jiwa bisa menjadi taruhan mahal berhadapan dengan keputusan PTM di tengah pandemi Covid-19.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H