Kursi di ruang tunggu para pasien tak seberapa. Kursi-kursi ini sudah diberi tanda -- jaga jarak. Saya duduk persis di depan loket pendaftaran. Rumah Sakit Kartini memang membuka akses 24 jam pelayanan rapid antigen bagi orang-orang yang membutuhkannya. Visinya "Melayani dengan Sepenuh Hati! Dari pukul 14.00 kami harus menunggu. Benar juga, rapid itu tak selamanya berarti cepat.
Kami menyodorkan kartu tanda pengenal setelah diminta ke loket pendaftaran. Setelah itu menunggu. Tiga puluh menit berlalu, tanda-tanda dipanggil untuk dites tak kunjung datang. Saya hanya geleng-geleng kepala. "Sudahlah, lagian kalau didatangi, petugasnya pasti bilang: Bersabar!"
Saya memperhatikan beberapa perawat yang tengah lalu lalang di depan saya. Tak ada yang terlalu extraordinary. Saya mengucek-ngucek mata. Kekuatan mata pada pukul 14.00 memang cukup memperihatinkan. Sepertinya teman-teman perawat lagi lelah. Mereka butuh istirahat. Aku hanya bersabar, karena aku yang lagi membutuhkan sesuatu saat ini: tiket perjalanan dengan logo bebas Covid-19.
Saya memang pernah merasakan bagaimana bekerja dan mengurus pasien ketika berada di Rumah Sakit. Waktu itu di Jogja, di RS Panti Rapih. Dari pukul 07.30 pengaturan shift dimulai hingga pukul 14.00.
Pada jam segitu pergantian tugas memang cukup alot. Ada yang lelah, ada yang lelap. Ada yang balap, ada yang pas-pas. Waktu pergantian shift benar-benar menjadi momen krusial. Bisa jadi, alasan pergantian waktu kerja inilah yang memeprlebar dan memperpanjang waktu tunggu di ruang tunggu.
Saya kemudian berdiri menghampiri loket pendaftaran. Tiga perempuan duduk dan tak mau mengangkat muka. Saya mulai mengadu. Perempuan yang tengah berhadapan dengan saya malah menunjuk temannya yang lain. "Nanti tunggu kaka yang itu!" sambil menunjuk perempuan lain di sebelahnya.
Berhadapan dengan perawat, saya harus sabar. Merekalah pengendali "kesejahteraan jiwa-raga" untuk saat ini. Jadi, jangan main-main dengan mereka, dan sebaliknya mereka boleh main-main dengan saya. Jangan banyak komplain. Jangan bacot. Jangan bersungut-sungut. Tetaplah sabar. Hanya kemudi kesabaran-lah yang terus saya gunakan sebagai jangkar untuk menenangkan darah militer.
Saya mengatur permenungan. Namanya ruang tunggu, pasti tugas saya ya menunggu. Di depan saya, ada beberapa petugas yang ikut menunggu. Jadi, ruang tunggu Rumah Sakit memang benar-benar difungsikan. Ruang itu bermakna ketika saya menemukan makna menunggu dari lamanya durasi menunggu. Semakin lama menunggu, semakin saya sadar bahwa saya tengah berada di ruang tunggu. Sudah pukul 15.00, tak ada tanda-tanda.
Ceritanya, tetap rapid test. Berarti tes cepat. Rapid itu memaksimalkan speed. Diupayakan secepat mungkin. Kali ketiga saya datangi petugasnya, panggilan tiba-tiba rebah di telinga. Akhirnya diusap juga. Kami diarahkan. Kami beralih tempat, disuruh ke ruang belakang, di luar sana. Kebetulan kursi di ruang rapid tak rapih. Kosong. Tak ada petugas. Tempat ini, kayaknya ruang tunggu kedua. Di sini, dan yakinlah, kami harus mengusap keringat dan memanaskan darah militer karena harus menunggu untuk kali berikutnya.
Pintu dibuka, hati lega. Eh, tau-taunya bukan petugas. Kapan? Pintu dibuka lagi, hati kembali lega. Eh, tau-taunya petugas kebersihan. Sahabat saya yang ikutan rapid mulai ceramah dengan  layar handphone didekatkan ke telinga. "Sabar! Kami masih tunggu petugas!" katanya menyahut suara di balik layar handphone.
Pintu kesekian dibuka, hati tak lagi lega. Saya hanya bisa pasrah dan ikhlas. Rompi hijau membalut perawat bertubuh mungil menghampiri kami. Saya baru melihatnya.