Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Di Balik Kemodernan Wayang

3 Juni 2021   20:36 Diperbarui: 3 Juni 2021   20:43 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pementasan wayang kulit. Foto: thejakartapost.com.

Setelah mencicipi halaman demi halaman, saya kemudian menyetujui komentar Benedict R. O'G. Anderson dalam buku Mitologi dan Toleransi Orang Jawa (2008). Bagi saya, kritik Anderson atas transformasi wayang saat ini, sangat menyentuh realitas. Seni pertunjukan wayang saat ini, umumnya kadang hanya menampilkan sisi hiburan belaka, tanpa ada pesan-kesan di baliknya.

Wayang yang semula adalah sebuah warisan budaya, kini berubah menjadi produk wisata semata -- unsur hiburan belaka yang dipertontonkan. Dan, ironisnya lagi, wayang dipakai oleh elite-elite politik sebagai media propaganda. Unsur-unsur politik menyelinap masuk melalui kreasi seni wayang. Apa yang dikemukakan oleh Benedict Anderson tentunya berawal dari sutuasi riil di masyarakat.

Alih-alih mengedepankan unsur kemodernnya -- yang sebenarnya memuat hiburan dan oplah -- sang dalang mengubah cerita di tengah jalan sesuka hati. Asalkan banyak orang yang tertawa dan terhibur. Ini sebuah model transformasi yang memiskinkan nilai yang justru dihibahkan setiap generasi dalam sebuah kebudayaan.

Interpretasi terhadap tokoh dan alur dalam wayang semakin hari semakin mulai memudar. Unsur kolaborasi dengan budaya modern juga kadang tidak memberi tempat bagi perkembangan tradisi yang ada. Hemat saya, jelmaan wayang modern hanya memberi kesan hiburan dan penambahan income wisata.

Sulit tuk menjumpai pementasan wayang yang benar-benar menampilkan kesungguhan nilai budaya yang diwariskan. Monopoli unsur kapitalis dalam wayang mengubah pentasan wayang menjadi ajang bisnis -- bisnis pertunjukan. Kaum borjuis tentunya semakin mendapat tempat untuk menikmati hiburannya.

Bukan pendidikan nilai dan moral yang dibawa pulang, tetapi soal gelak-tawa. Wayang dibawa ke ranah komersial. Wani piro? Penyingkatan durasi cerita dalam wayang juga mengendurkan makna pertunjukkannya. Lebih cepat, lebih baik. Secara tidak sadar, pemotongan durasi pertunjukkan wayang menunjukkan kelelahan, kelesuan, kejenuhan, ketidakmampuan, kegerahan, dan kemiskinan mereka yang menginginkan dan membawakannya.

Minat pada wayang pun semakin gembos. Generasi muda hampir menghindar dari kata wayang. Karena cara pewarisannya yang cenderung pragmatis, membuat generasi muda apatis terhadap wayang. Budaya pop dan western culture malah lebih bergengsi dan dikejar-kejar. Zaman sekarang, orang tidak lagi menyadari peran warisan budaya dalam hidup. Adopsi dan jiplak lebih trend dan stylist. Bagi saya, keprihatianan Anderson hendaknya menjadi momen menoleh ke belakang.     

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun