Momentum lahirnya pandangan hidup berbangsa dan bernegara merupakan hasil dari sebuah konsensus panjang-menyejarah. Pancasila sebagai dasar negara bukanlah produk orde manapun. Meski diikhtiarkan pada zaman Soekarno, Pancasila sudah memilki kekuatan futuris yang menyatu. Dari konsensus yang menyejarah, hendaknya Pancasila juga terus "disejarahkan" setiap zaman.
Pada tanggal 1 Juni 1945, di depan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Bung Karno menyampaikan pandangannya tentang fondasi dasar Indonesia Merdeka yang beliau sebut dengan istilah Pancasila sebagai philosofische grondslag (dasar filosofis) atau sebagai weltanschauung (pandangan hidup) bagi Indonesia Merdeka.
Sebagai falsafah hidup berbangsa dan bernegara, Pancasila sudah membuat pluralitas dan kemajemukan bangsa ini menjadi solid. Kesatuannya, seharusnya dipupuk dan direfleksikan dalam setiap gen generasi. Ketika usia berganti, Pancasila hendaknya tak hanya menjadi momentum untuk dikenang dan diselebrasikan; tetapi lebih dari itu: direaktualisasi.
Di dalam tubuh Pancasila, nilai-nilai hidup berbangsa dan bernegara merupakan kompas yang memberi arah. Jika dibatinkan satu per satu, agaknya sila-sila yang dikebumikan sungguh merekatkan kekuatan kita sebagai bangsa yang merdeka. Dari Pancasila, setiap generasi diingatkan untuk kembali ke dasar, kembali ke sejarah, kembali ke perjuangan, dan kembali ke dalam ingatan yang menyatukan.
Merenungkan tentang hari lahirnya Pancasila, kita dituntut untuk membantinkan kembali poin-poin inti dari sila-sila yang ada. Setiap sila adalah tesis pendasaran bagaimana pandangan hidup bernegara seharusnya dipahami secara sistematis. Tanpa penjabaran sila-sila yang kaya dan menyatu, Pancasila akan menjadi dasar negara yang hanya dimonumenkan.
Lalu, bagaimana memahami inti sila-sila yang dijabarkan dalam Pancasila? Inti isi sila Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai sila pertama sejatinya memuat kerukunan keyakinan. Dari beragam kepercayaan dan agama, sila pertama membentuk sebuah kesimpulan yang mengikat: monoteistik. Dengan itu, sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, dicapai melalui upaya akal budi yang tidak terikat oleh bentuk ketuhanan yang maha esa tertentu. Di dalam jiwa sila pertama ada toleransi, kerukunan, harmoni, dan kewajiban untuk saling menghormati.
Dari keyakinan theos yang satu, kita menuju sila kedua, yakni Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Konsekuensi dari pemenuhan sila pertama tentunya mengarahkan kita pada ciri manusia yang beradab. Inti isi sila Kemanusiaan adalah hakikat manusia untuk melakukan perbuatan-perbuatan atas dorongan kehendak, berdasarkan putusan akal, dan selaras dengan rasa. Inti sila kemanusiaan ini mengarahkan semua penghuni rumah Indonesia untuk membangun relasi sosial yang aman, damai, bebas, dan solid.
Kemanusiaan yang adil dan beradap kemudian mengarahkan kita pada sila ketiga, yakni Persatuan Indonesia. Sila ketiga, sejatinya merupakan akibat langsung dari sila pertama dan kedua. Persatuan Indonesia, pada prinsipnya datang dari pembiasaan yang diharapkan dalam sila Tuhan yang Esa dan Manusia yang Adil dan Beradab.Â
Dalam penjabarannya, inti isi sila Persatuan Indonesia lahir dari kesadaran masyarakat Indonesia yang pluralis (suku bangsa, golongan, adat-istiadat, kebudayaan, agama, kepercayaan dll.,) sebagai sebuah identitas yang majemuk. Identitas yang majemuk ini tak lain adalah kekuatan yang mempersatukan.
Dari Persatuan yang menyatukan dan memperkuat tali kebhinekaan, kita diarahkan untuk membentuk sebuah pemerintahan. Maka, dalam sila keempat, kita meyakini adanya sebuah konsensus terbuka untuk membangun bangsa dan negara.Â
Dalam hal ini rakyat akan menjalin kerja sama dengan prosedur hukum yang berlaku dan disepakti bersama. Inti isi sila Kerakyatan pada prinsipnya adalah kebebasan dan kekuasaan rakyat dalam wadah kenegaraan berdasarkan tritunggal harapan bernegara, yakni "negara dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat."