Pemikiran Agustinus mengenai kebenaran sebagai sebuah kepastian ternyata dilawankan dengan aliran Skeptisme yang mengajarkan bahwa kebenaran bersifat relatif. Beberapa kepastian yang tak dapat disangkal adalah prinsip kontradiktif, kesan subyektif pribadi, keraguan, dan kebenaran matematis. Suatu  kebenaran akan dapat dicapai melalui pengalaman batin, selain pengalaman inderawi yang memang kurang bisa dipercaya. Dengan pengalaman batin seseorang mampu mendapatkan pengetahuan kontemplatif mengenai hal-hal yang indah, baik, dan abadi. Manusia akan mencapai pengetahuan yang abadi jika ada penerangan Ilahi (iluminasi cahaya Ilahi di dalam budi manusia).
Menurut Agustinus, dunia ini dijadikan dari ketiadaan (creation ex nihilo), yakni dari kebebasan Allah sendiri. Pandangan Agustinus ini menentang teori Neoplatonis yang mengatakan bahwa alam dunia ini telah ada dan menyatu dengan Yang Abadi. Posisi manusia bagi proses penciptaan ini menurut Agustinus adalah sebagai colaborator Dei (teman sekerja Allah). Artinya manusia yang telah diserahi akal budi dan menjadi makhluk tertinggi di antara makhluk yang lain, mempunyai tugas untuk "menyempurnakan" dunia.
Bagi Agustinus suatu kehidupan masyarakat perlu adanya suatu norma atau aturan yang akan  membawa kebahagiaan sejati bagi orang-orang yang ada di sekitarnya. Norma atau aturan itu, pada dasarnya melekat pada hati nurani seseorang. Untuk itu, upaya mencapai kebahagiaan sejati adalah tugas dan tanggung jawab setiap pribadi manusia. Salah satu ciri terciptanya kebahagiaan sejati dalam suatu masyarakat adalah dengan tumbuhnya cinta altruis (cinta penuh pengorbanan). Refleksi Agustinus akan kerinduan baik pribadi maupun masyarakat akan suatu kebahagiaan sejati dituliskan dalam karyanya berjudul De Civitas Dei.
De Civitas Dei adalah buah permenungan Agustinus atas tanggung jawabnya terhadap moral umat Kristen. Kala itu, ketika Theodorus Agung menetapkan agama Kristen sebagai agama resmi negara, banyak umat Kristen mengalami krisis iman dan moral. Umat Kristen sungguh mengalami pergulatan dengan iman mereka. Maka, De Civtas Dei menjadi semacam jawaban atas keprihatinan yang terjadi pada saat itu. De Civitas Dei mau memberikan ajaran dan inspirasi hidup beriman di tengah masyarakat yang mangalami pergulatan iman.
Ada dua kelompok yang muncul karena situasi yang terjadi pada saat itu, yakni Civitas Dei (Komunitas Alllah) dan Civitas Terrena (komunitas dunia). Civitas Dei adalah kelompok yang pribadinya digerakkan oleh tatanan cinta kepada Allah, Pencipta, dan Penggerak Kehidupan. Kelompok ini ditandai dengan hidup persaudaraan dan saling menghormati martabat yang sama sebagai anak-anak Allah. Sedangkan Civitas Terrena adalah kelompok yang pribadinya digerakkan oleh sifat egoisme (cinta diri) dan mengabaikan Allah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H