Salah satu peristiwa besar dalam aktivitas ekonomi dunia pada akhir abad XX adalah perubahan dari kapitalisme sosial menjadi kapitalisme fleksibel atau kapitalisme baru. Perubahan ini didasarkan pertama-tama pada logika waktu pendek para pemilik modal yang menghendaki keuntungan besar melalui percepatan perputaran modal.
Selain itu, perkembangan teknologi komunikasi dan manufaktur membantu mempercepat perubahan kapitalisme. Akibatnya, institusi-institusi yang sebelumnya diorganisasi berdasarkan sistem birokrasi yang ketat dituntut untuk diorganisasi kembali diubah sehingga semakin fleksibel. Organisasi kerja pun diatur berdasarkan logika waktu pendek dengan menerapkan sistem kontrak.
Fleksibilitas berdasarkan logika waktu pendek menuntut sifat-sifat kepribadian yang ideal terutama para pekerja. Karakter ideal  berarti sifat kepribadian yang mampu menghadapi tiga tantangan utama dalam kapitalisme baru yaitu, tantangan berkaitan dengan waktu (bagaimana mengelola relasi jangka pendek), tantangan berkaitan dengan keterampilan (bagaimana menggali kemampuan potensial), dan tantangan berkaitan dengan kerelaan untuk melepaskan pencapaian-pencapaian pada masa lalu. Dengan kata lain, kapitalisme baru menciptakan praktik-praktik dan nilai-nilai yang sangat fleksibel sehingga menuntut kemampuan adaptasi dan kerja sama yang tinggi.
Kritik Sennett terhadap budaya kapitalisme baru didasarkan pada kenyataan bahwa kebanyakan orang terutama pekerja tidak mampu menghadapi fleskibilitas yang begitu kuat. Kebanyakan pekerja menurut Sennett menghendaki hubungan kerja dan orientasi kerja jangka panjang sehingga mereka memiliki narasi jangka panjang yang dapat dibanggakan.
Kesenjangan antara cita-cita para pekerja dan fleksibilitas berdasarkan logika waktu pendek dalam institusi-institusi menurut Sennett telah membuat hidup banyak orang terkatung-katung dan tidak menentu. Para pekerja mengalami stres karena persaingan yang sangat kuat, apalagi dengan sistem imbalan di mana pemenang berhak memperoleh semuanya. Selain itu, para pekerja mengalami ketidakpastian atau ketidakamanan kerja karena dihantui oleh rasa takut kehilangan pekerjaan.
Secara sosial, para pekerja di dalam institusi fleksibel mengalami kemerosotan nilai. Institusi-institusi baru mengakibatkan tiga defisit sosial.Â
Pertama, para pekerja kehilangan loyalitas terhadap intitusi. Mereka kehilangan loyalitas karena institusi tidak memberikan jaminan jangka panjang kepada mereka. Bekerja pada institusi fleksibel menurut Sennett tidak berbeda dengan sebuah proyek. Ketika proyek selesai, berakhirlah relasi antara pekerja dengan institusi. Dengan kata lain, dalam institusi fleksibel, transaksi lebih penting daripada relasi.
Kedua, hilangnya kepercayaan. Orang-orang yang bekerja di dalam institusi fleksibel tidak mampu membangun kepercayaan di antara mereka, karena sistem kompetisi yang menekankan hasil (bukan proses) sebagai kriteria utama. Dalam institusi-institusi fleksibel, batas antara teman sepekerjaan dengan saigan sangat tipis. Mereka bekerja pada suatu institusi tetapi persaingan membuat mereka tidak mampu membangun kepercayaan.
Ketiga, para pekerja kehilangan pengetahuan institusional. Dengan sisitem kontrak jangka pendek, mereka tidak mempunyai cukup waktu untuk belajar bagaimana institusi, tempat mereka bekerja, berfungsi. Institusi juga tidak memberikan kesempatan yang luas kepada mereka untuk mengenal cara kerjanya karena para pekerja tidak dilibatkan dalam proses pengambilan kebijakan. Para pekerja hanya dituntut untuk bekerja sebaik mungkin untuk memenangkan kompetisi, sedangkan berbagai urusan lain diatur oleh orang lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H