Manusia selalu berusaha untuk memperoleh keselamatan. Akan tetapi, pertanyaannya mengapa syalom (damai sejahtera) tidak pernah terlaksana? Ini adalah sebuah persoalan. Ada berbagai alasan mengapa gagasan keselamatan selalu dihalangi untuk dicapai, antara lain: 1) mistos mengenai dewa/i yang iri dan tidak menginginkan syalom, 2) dualisme antara kuasa baik vs kuasa jahat. Keduannya bersaing dan manusia yang jadi korban, dan 3) gnosis, yakni adanya ngelmu/pengetahuan untuk membebaskan diri dari materi tubuh ini -- syalom yang terbatas.
Manusia dalam Kitab Suci menggumuli persoalan ini dalam kepercayaannya kepada Allah Yang Mahakuasa dan menghendaki syalom untuk manusia. Maka, menurut Kitab Suci 1) jawaban mengenai persoalan di atas -- mitos, dualisme dan gnosis -- tidak bisa diterima dan 2) Allah justru menghendaki syalom. Allah menghendaki syalom dengan sebuah perjanjian (Kej 3 -- 3,15; Kej 4 -- 4,15; Kej 6-8 -- 9 1ss. 17; Kej 11 -- 12,1-3). Artinya, setelah peristiwa pembunuhan atau kekejian, tetap ada janji keselamatan. Hal ini menunjukkan bahwa Allah menghendaki keselamatan. Oleh karena itu, Allah Perjanjian Lama adalah Allah pencipta sekaligus menyelamatkan -- masih dalam model janji.
Lalu apa yang terjadi pada zaman kerajaan? Nyatanya pada kisah Daud. Pada zaman Daud, syalom dirasakan, akan tetapi belum utuh atau tidak selesai, misalkan kisah skandal Batsyeba atau sensus (2Sam 24). Kisah lain dalam kisah Raja Salomo dengan tren membangun Bait Allah. Nyatanya, ada pemerasan pajak, kerja rodi, dan menyembah berhala. Kerajaan Israel justru hancur pada tahun 723 karena ketidaksetiaan raja-raja Israel kepada Allah.
Syalom tidak terlaksana karena manusia tidak setia pada Tuhan dan aturan-Nya. Manusia dianggap berdosa. Misalkan, dalam kisah Kitab Kejadian 12, Abram dipanggil tanpa syarat, akan tetapi pada Kitab Kejadian 17, syalom diperoleh karena syarat. Maka, syarat pada Kitab Kejadian 17 dilihat sebagai upaya untuk melindungi Allah, misalkan janji itu tidak terlaksana, maka yang disalahkan adalah manusia -- apakah manusia memenuhi syarat yang diajukan Allah atau tidak?
Periode berikutnya, muncul pengharapan dengan tokoh-tokoh, seperti Hizkia dan Yosia. Mereka memaksa orang untuk kembali setia kepada Allah berdasarkan rumusan Perjanjian Vassal (rumusan Deuteronomistis). Akan tetapi, pengharapan ini berakhir hancur, dimana Kerajaan Selatan pada 587 hancur dan pembuangan Babilonia. Kesimpulannya, syalom tidak terlaksana. Maka, pertanyaannya adalah bukan lagi kenapa tidak ada syalom, tetapi mengapa ada dosa? Pada periode berikutnya, 587 -- 537 muncul lagi pengharapan karena Nabi Yeremia dan Deutero-Yesaya membuat semacam seruan. Umat Israel akhirnya bertobat usai pulang dari pembuangan. Akan tetapi, hal itu tidak terlalu lama, dimana umat Israel kembali tidak setia, sehingga keselamatan tidak bisa hadir. Lalu, mengapa umat manusia terus berdosa?
Dalam kisah Ayub dan Pengkotbah, pandangan tradisional (baik dapat berkat, dan tidak baik dapat kutuk) dipertanyakan. Nyatanya, Ayub dicobai Allah. Aliran Apokaliptik meletakkan keselamatan di dunia kahir/nanti (langit dan dunia baru).
Dalam Perjanjian Baru harapan baru justru muncul dengan hadirnya tokoh sentral Yesus Kristus, terutama dalam bidang iman dan moral. Akan tetapi, tokoh yang diharapkan ini malah mati dan bahkan harapan akan syalom itu justru punah. Maka, percapakan orang di jalan ke Emaus menjadi jelas, bahwa Yesus yang diharapkan malah mati (Lukas 24,19). Kebangkitan Yesus menghidupkan lagi harapan. Kedatangan kedua tetap dinantikan dan Yesus tetap belum datang -- umat Israel tetap berdosa. Lalu, kenapa syalom belum datang seutuhnya? Jawabannya tetap, yakni Syalom belum datang karena 'dosa manusia.'
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H