Alam selalu membuat teka-teki. Ia tak sepenuhnya dapat dipahami. Ia selalu tersembunyi. Dari teka-teki ini, alam selalu mempunyai caranya tersendiri menghentak dan menyadarkan para penghuninya.Â
Jika alam tak hadir seperti teka-teki, ia lantas dipahami seluruhnya. Ketika dipahami, ketakberhingaannya direngkuh dan dikuras habis. Dari sinilah, bencana itu mengatur rencana.
Gemuruh angin disertai hujan melanda Kota Karang (Kupang) dan seluruh wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT). Pohon-pohon tak kuat menahan amukan angin. Seperti badai gurun pasir, angin tiba-tiba mengguncang pucuk kota ini dan menjungkir-balik dasar-dasar bangunannya yang kokoh dari Sabtu (3/4/2021) hingga Senin (5/3/2021). Hujan badai pun mengharuskan air laut menghampiri rumah warga. Apa gerangan alam mengamuk?
Kita pernah diberi waktu untuk mendengar suara bumi. Momen ini dikebumikan pada hari Sabtu (27/3/2021) dengan tajuk "The Earth Hour." Ada yang menaruh rasa dan berusaha mengontemplasikan suasana dimana bumi mengerang kesakitan.Â
Pada momen "The Earth Hour" suara bumi terdengar tak seperti biasanya. Gelombang teriakan minta tolong dari perut bumi mengerang memekik kedua telinga. Akan tetapi, di saat yang sama, suasana hiruk pikuk dan pawai berisik seperti enggan bersolider dengan bumi. Tak semua orang mau memikirkan bumi.
Ketika waktu mendengarkan rintihan bumi tak dibidik simpati, bumi kemudian menemukan cara tersendiri 'tuk menyadarkan manusia. Bumi disertai kekuatan supernya mulai mengingatkan penghuninya dengan hujan dan topan. Atap rumah digebuk habis. Pohon-pohon diterjang hingga tumbang. Tiang-tiang listrik roboh merekatkan gelap. Di dalam rumah, kita seperti dihantui sebuah malapetaka besar. Alam mengingatkan kita dengan caranya tersendiri.
Selain gemuruh angin, hujan yang tak kunjung henti juga ikut menggebuk penghuni bumi. Jembatan dan gorong-gorong kreasi manusia luluh-lantak disapu banjir. Kita berteriak meminta tolong. Tuhan disapa. Angin disujud mohon. Semua tak kunjung reda.Â
Saudara bumi tengah mengingatkan kita dengan caranya sendiri. Caranya kali ini cukup "brutal." Tak ada belas kasihan. Tak ada minta ampun. Siapa dan apa saja diterjang. Siapa dan apa saja dibawa-serta. Sudahkah kita menaruh simpati dengan bumi tempat kita berpijak? Sudahkah kita bersolider dengan alam tempat dimana kita mengais rezeki, dirawat, dan meneguk asupan?
Tidur tak akan mengantar kita pada mimpi. Semalaman suntuk angin disertai hujan deras merong-rong pintu nurani dan wadah hati kita merasa. Cukuplah mengeruk bumi. Sekarang saatnya menaruh perhatian pada alam. Alam meronta-ronta karena tak kunjung diperhatikan. Kita hanya bisa mengambil. Kita, selama ini, hanya mengeruk keuntungan tanpa mau peduli 'tuk merawat. Kita hanya mau menikmati, tanpa mau memberi perhatian. Kini, alam mengingatkan kita dengan caranya tersendiri.
Kita selalu membuat alam ini merintih, mengerang, dan menangis. Dalam kepedihannya, kita bersenang-senang. Dalam dukanya yang tak berbunyi, alam selalu mau berkomunikasi dengan para penghuninya.Â
Tapi, dengan cara apa ia berbicara dengan para penghuni dan makhluk unik yang diberi kuota rasional di antara segala ciptaan? Makhluk berakal budi itu selalu sibuk. Tak ada waktu buat makhluk yang diberi kuasa oleh Tuhan untuk mendengar rintihan kesakitan saudari bumi. Lagi-lagi, alam pun mencari cara tersendiri 'tuk menyadarkan dan mengingatkan manusia.