Menjadi Injil Kelima berarti menyebarkan berita yang benar, berita valid, berita yang otentik, berita sukacita, berita yang menyejukan dan memberi pesan perdamian dan toleransi. Menjadi Injil Kelima seyogiyanya membantu kita dalam memerangi upaya penyebaran berita bohong (hoax atau fake news) di tengah masa resesi ini
Menjadi Injil Kelima? Bukannya Injil hanya empat, yakni Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes? Siapa Injil Kelima yang dimaksud? Saya sedang menanyakan pada orang yang tengah membaca pertanyaan ini dan menuntut sebuah jawaban. Semoga saja, saya yang dimaksud.
Kristus sudah bangkit! Kubur kosong. Lalu apa yang bisa dibuat? Maria Magdalena mendapati kubur kosong. Peristiwa ini langsung diabadikan oleh Maria Magdalena agar diketahui banyak orang. "Kebangkitan Yesus harus disebarkan, diupload, ditexting di media sosial. Harus cepat-cepat. Ini bukan peristiwa biasa," gumam Maria ketika mendapati kubur kosong. Redaksi media Maria Magdalena memang cepat dan langsung diburu oleh Simon Petrus dan murid yang lain yang dikasihi Yesus (Yoh 20:1-10).
Paskah bagi Maria merupakan momen melihat Tuhan. Melihat Tuhan yang bangkit, melihat Tuhan yang dulu pernah bersama, melihat Tuhan yang kini menang atas maut. Sebelum sampai pada keberhasilan untuk melihat, Maria pertama-tama melalui sebuah tahap yang cukup berat, yakni mencari. Kebutuhan untuk mencari justru menjadi ciri khas kultur zaman kita sekarang.
Take a look! Hemat saya, latar hidup zaman kita sekarang selalu ada dalam ritme tiga kata kerja berikut: melihat, menyentuh, dan memiliki. Perkembangan teknologi bahkan memaksa kita untuk menjaga ritme ini, yakni melihat, menyentuh, dan memiliki. Bahkan kebutuhan melihat mampu menggeser kebutuhan dasar manusia (basic needs of human being). Kita bisa berlama-lama di depan HP hanya untuk melihat. Kita ke mall kebanyakan hanya untuk melihat. Bagaimana bisa demikian?
Ketiga kata kerja di atas (melihat, menyentuh, dan memiliki) muncul dari kata kerja mencari (Inggris: to seek). Untuk dapat melihat, menyentuh, dan memiliki, seseorang perlu melewati tahap mencari. Kita keluar rumah untuk mencari; kita ke sekolah-kampus untuk mencari ilmu; kita ke pasar-mall-bioskop, juga untuk mencari. Kita ke Gereja juga untuk mencari: mencari Tuhan.Â
Sama halnya dengan apa yang dilakukan Maria Magdalena hari ini. Menariknya, percaya atau tidak, karena besarnya kebutuhan kita akan mencari, para pakar teknologi pun menciptakan sebuah mesin pencari raksasa bernama Google. Dengan bantuan mesin pencari ini, kebutuhan kita pun semakin dipermudah. Setidaknya kebutuhan akan melihat. Sayangnya, Google tidak mampu memberi jawaban yang benar soal kebutuhan kita untuk melihat Tuhan atau berelasi dengan-Nya.
Kurang lebih selama 40 hari, kita sudah bergelut dengan ritme mencari, yakni mencari Tuhan dalam keheningan. Masa 40 hari ini kita namakan Masa Retret Agung (Prapaskah). Masa ini dengan kata lain adalah masa aktif mencari. Untuk sampai pada penemuan akan sesuatu yang dicari selama Masa Prapaskah, Gereja memberi kita tiga resep, yakni amal, puasa, dan doa.
Bagaimana resep itu bekerja? Dengan beramal, kita dituntut untuk aktif mencari sesama saudara kita yang hilang, tersesat, terpinggirkan atau dalam bahasa Arah Dasar (Ardas) Keuskupan Agung Semarang (KAS) mereka yang kecil, lemah, miskin, terpinggirkan, dan difabel. Dengan berpuasa, kita berusaha menemukan siapa diri sendiri berhadapan dengan Tuhan dan sesama.Â
Sedangkan dengan doa, kita mencari siapa sosok Tuhan yang saya kenal, saya sembah, dan yang saya imani sekarang. Singkatnya, ritme Prapaskah mengantar kita pada tiga dimensi relasi, yakni dimensi vertikal (saya dengan Tuhan), dimensi horisontal (saya dengan sesama dan alam ciptaan), dan dimensi internal (saya dan diri saya sendiri).
Jika masa Prapaskah adalah momen mencari Tuhan, lalu masa Paskah itu apa? Jawabannya tentu mengular dan siapa saja boleh merefleksikannya sesuai dengan pengalaman personalnya dengan Tuhan. Dari kacamata Maria Magdalena, Paskah adalah momen melihat Tuhan.Â