Korupsi memang sudah menjadi habitus untuk saat ini. Jika tak korupsi, rasanya dunia ini tak terlalu menantang 'tuk dipijak. Jika 'tak korupsi, rasanya hidup ini datar-datar saja. Dan, jika tak korupsi, rasanya sia-sia upaya saya menyentuh kekuasaan.
Berita terkait si A atau si X melakukan tindak pidana korupsi bukanlah hal baru di Indonesia. Kehadiran lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), hemat saya merupakan perlawanan nyata dari bobroknya nurani dan watak berkuasa seseorang. Bagaimana jika kekuasaan itu dijalankan sebagaimana mestinya, tanpa korupsi? Apakah ada yang salah dari cara memimpin demikian?
"Jika Anda ingin tahu seberapa bijak dan jujurnya seseorang, beri dia kekuasaan." Slogan ini memang menarik untuk didalami. Dari slogan ini, kebanyakan orang terjerembab dan dipukat. Jauh sebelum berkuasa, teriakan lawan korupsi menggelegar ke mana-mana. Bahkan, ada yang bersumpah bakal dihukum mati atau gantung diri jika terlibat kasus korupsi. Pertanyaannya: "Yang bener saja? Berani gak gantung diri sekarang?"
Pusaran kekuasaan, hemat saya bak gumpalan samudera yang menarik benda apa saja untuk masuk ke dalamnya. Di dalam gumpalan samudera ini, kita tak bisa berbuat apa-apa, selain ikut terbawa arus. Sekali lengah, tak ada lagi kata ampun untuk keluar dari cengkeramannya. Korupsi tak jauh dari analogi ini. Ketika seorang pejabat publik mengatakan "ya" pada tawaran tertentu dengan imbalan uang, semua tata bahasa, profesionalitas, kebijaksanaan, gelar akademis, dan hati nuraninya, tak ada gunanya lagi. Yang penting duit. Yang penting kaya. Yang penting tak diketahui.
Mental masa bodoh dan menganggap korupsi sebagai tindakan lahiriah hidup harian, tidak lain adalah sebuah jenis gangguan. Dalam ilmu medis, jenis gangguan ini mungkin agak sulit ditemukan dan diberi nama. Saya harap, tim medis sesekali melakukan check up berkala untuk mereka yang masuk dalam jenis gangguan demikian. Pasien dengan latar penyakit suka korupsi seharusnya dikarantina dan diteliti lebih mendalam. Perlu dicari root cause-nya biar di kemudian hari, jenis penyakit dan pasien yang suka korupsi ditempatkan pada satu tempat hunian khusus.
Di sana mereka perlu dibina, diberi semacam edukasi moral dan etiket, diterapi, dan bila perlu dicek tensi hati nuraninya secara berkala. Proyek ini urgen dan perlu diberi perhatian khusus. Dalam bidikan saya, rupanya mereka yang terlibat korupsi tak hanya mengalami personality disorder, tetapi juga mental health disorder. Kenapa demikian? Ya sebetulnya mudah mendeteksi jenis gangguan demikian. Tiap hari diberi peringatan. Tiap tahun diberi pencerahan, toh ada juga yang gak paham. Ada yang dijebloskan ke penjara, tapi pengalaman ini bukan apa-apa ketika esok harinya orang dengan diagnosis jenis gangguan yang sama ikut terlibat. Kan aneh?
Makanya, saya justru menilai bahwa mereka yang masuk dalam kubangan penyakit korupsi harus dikategorikan sebagai pasien dan perlu dicheck up. Publik jenuh, bosan, dan geli dengan informasi seputar korupsi yang getol menghiasi halaman depan media informasi abad ini. Di tempat lain, masyarakat bekerja sekuat tenaga hingga keringat dan darah mengucur, sementara di ruang ber-AC tanpa panas terik, dan debu, ada segelitir orang yang berpesta pora tanpa beban. Mereka asyik menikmati kemewahan di atas kesengsaraan orang lain. Bagaimana situasi ini dapat dipahami?
Alat ukur kejujuran dan kebijaksanaan seseorang, memang hanya dapat dievaluasi dari cara dan bagaimana ia menjalankan kekuasaan. Keberhasilan dalam tugas tidak pernah menjadi tujuan dari kekuasaan. Keberhasilan justru merupakan akibat dari keseriusan, kejujuran, dan kebijaksanaan seseorang dalam menahkodai kekuasaan. Jika caranya tepat, maka keberhasilan adalah akibat yang tak bisa dihindari. Akan tetapi, jika caranya bobrok, kegagalan dan malapetakan juga siap-siap menjadi akibat yang tak terelakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H