Hati seorang Bapa seperti Pak Joko Widodo memang sangat diharapkan oleh penghuni negeri ini. Sebagai seorang kepala rumah tangga, Jokowi selalu membuka mata, telinga, dan hati untuk mendengarkan keluhan penghuni rumah. Semua masukan dengan beragam keluhan diberi ruang untuk didengarkan sekaligus dievaluasi. Hati seorang Bapa hadir dalam sosok kepala rumah tangga bernama Joko Widodo.
Presiden Joko Widodo secara terangan mencabut lampiran Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 terkait pembukaan investasi baru dalam industri minuman keras (miras) yang mengandung alkohol. Setelah mendengar berbagai masukan dari para ulama, tokoh agama serta provinsi dan daerah, Presiden Jokowi kemudian mengeluarkan pernyataan mencabut Perpres/10/2021. Dalam ritme kesibukannya sebagai seorang kepala negara, Jokowi tetap mempunyai waktu khusus untuk mengolah aspirasi masyarakat.
Apa yang bisa dipelajari dari situasi ini? Pertama, kita tentunya mengapresiasi langkah pemerintah untuk selalu terbuka dalam mengelola kebijakan. Pemerintah dalam artian tertentu sudah menjadi pengelola negara yang bijak dan transparan. Aspek inilah yang sebetulnya perlu dibangun dalam sebuah negara demokrasi.Â
Keterbukaan dalam mewadahi, kesediaan mendengarkan, dan kekritisan dalam mengevaluasi adalah bukti dari kemajuan kita sebagai sebuah bangsa dalam berdemokrasi. Tak semua kepala negara atau wadah pemerintahan melakukan hal-hal semacam ini. Dan, kita patut bersyukur, di zaman Jokowi, semua keluhan, masukan, dan saran mendapat tempat dan ditindaklanjuti.
Kedua, pemerintah menjamin kelangsungan hidup bersama atas dasar dialog-komunikatif. Dalam hal ini, pemerintah sekarang di bawah kendali Jokowi selalu memberi peluang untuk membangun ruang dialog. Dialog dalam hal ini tak melulu soal kekuasaan dan otoritas, tetapi lebih pada kerja sama dalam membangun bangsa.Â
Dialog juga tak sekadar mendengarkan kritik, tetapi lebih dari itu, yakni dialog yang komunikatif. Â Unsur komunikatif dalam hal ini menyisir aspek keterbukaan dan proyeksi keputusan. Dengan kata lain, pemerintah telah menindaklanjuti berkas polemik tertentu hingga pada sebuah keputusan yang diterima untuk kebaikan bersama.
Ketiga, kecerdasan dan keberanian warga negara dalam proyek memajukan sebuah bangsa tengah mengalami fase-fase pertumbuhan. Semenjak perpres tentang investasi miras diteken, masyarakat tak mengurung niat tuk mengevaluasi. Dalam hal ini, masyarakat memiliki hak dalam memajukan bangsa dan negara. Rakyat yang cerdas dan kritis adalah tanda bahwa demokrasi tengah hidup dan diasah dalam sebuah negara. Seandainya, semua memilih untuk bungkam, realitas demokrasi justru dipertanyakan dalam sebuah negara-bangsa.
Keempat, keterbukaan dan aspek kontrol sosial masyarakat menunjukkan visi hidup bernegara yang prospektif. Polemik terkait pelegalan invetasi baru jenis minuman keras, tentunya punya dampak laten dan berlanjut bagi masa depan bangsa ini. Logika investasi memang diperdalam ketika negara menelurkan sebuah kebijakan: kira-kira apa dampak jangka panjangnya?Â
Kebanyakan warga negara mengalami kebingungan dan kehancuran masa depan karena penyalahgunaan produk-produk yang berbahaya dan dilindungi Undang-Undang. Miras, tak lain adalah produk yang boleh jadi bisa membunuh masa depan seseorang jika dikonsumsi tanpa pengawasan. Tingkat kematian, kriminalitas, dan kecelakaan kadang datang dari konsumsi miras.
Keputusan Jokowi tentunya tak hanya mencairkan suasana negeri tetapi membuka investasi baru di kemudian hari, yakni menanamkan modal melalui generasi bangsa yang handal. Dengan dicabutnya perpres, hemat saya, pemerintah sudah membuat harapan generasi bangsa ini lebih produktif dan prospektif. Investasi produk kebangsaan ke depan sejatinya ada pada generasi sekarang. Jika salah menunjuk dan menetapkan kebijakan, produk bangsa masa depan akan ikut mengalami problem. Mencabut investasi, menyekolahkan generasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H