"Ada air dan padang gurun. Dalam Perjanjian Lama, air melambangkan petaka (Air Bah). Dalam Perjanjian Baru, air menjadi lambang keselamatan (Sakramen Pembaptisan). Di padang gurun bangsa Israel melewati masa-masa sulit. Di padang gurun pula, Yesus dicobai iblis. Mungkin latar pandemi sekarang adalah padang gurun. Jika demikian, apa makna air dan padang gurun untuk kita? Adakah komitmen yang dibangun selama berada di padang gurun?"
Hari ini, Gereja sejagat memasuki Pekan I Masa Prapaskah. Prapaskah memang sudah dibuka dengan ritus khusus pada Hari Rabu Abu (17/2/2021) kemarin. Pada Hari Rabu Abu, semua umat Katolik menandai Masa Pertobatan dengan mengoleskan abu di dahi. Dalam hal ini, abu menjadi tanda bahwa orang Katolik tengah memaknai penderitaan Kristus. Abu menjadi tanda manusia itu fana. Abu menjadi meterai komitmen saya dan Tuhan di Masa Prapaskah. Sarana-sarana yang dipakai sepanjang Masa Prapaskah ini adalah puasa, amal, dan doa.
Pada Minggu I Masa Prapaskah ini, bacaan-bacaan suci yang disuguhkan, tentunya berbicara mengenai rencana dan komitmen selama 40 hari ke depan. Mambangun komitmen dalam hal ini, bisa dibuktikan dengan tanda tertentu -- setidaknya kesetiaan dalam menghidupi sarana-sarana selama Masa Prapaskah itu sendiri. Jika komitmen yang dibuat bisa dijalankan dengan serius, konsisten, dan bijak, maka harapan untuk dilahirkan secara baru juga bisa digapai -- setidaknya ada sesuatu diubah atau diperoleh setelah menjalankannya.
Bacaan I pada Minggu I Masa Prapaskah ini, mengisahkan tentang komitmen Allah dan Nabi Nuh pasca peristiwa Air Bah (Kejadian 9:8-15). Sebelum bencana Air Bah memusnahkan manusia, Allah pernah membuat perjanjian dengan Nabi Nuh. Pada kisah bacaan hari ini, perjanjian itu diberi meterai khusus -- semacam pelangi. "Dan inilah tanda perjanjian yang Kuadakan antara Aku dan kamu serta segala makhluk hidup yang ada sertamu turun-temurun untuk selama-lamanya. Busur-Ku, akan Kutempatkan di awan sebagai perjanjian antara Aku dan Bumi" (Kejadian 9:12-13).
Allah membangun komitmen dengan Nabi Nuh demi masa depan. Jika didalami, perjanjian antara Allah dan Nabi Nuh muncul karena Nabi Nuh berhasil menjaga komitmennya selama air bah melanda. Dalam kisah Air Bah, kita mungkin akan mengira bahwa godaan dan tantangan selama berada di dalam bahtera sama sekali tak ada.Â
Selama dalam bahtera, gejolak pribadi Nabi Nuh mengenai hal-hal urgen, seperti kerusakan kecil-kecil pada badan atau lambung bahtera, kekurangan makanan, bentrok dengan mereka yang kurang percaya di dalam bahtera, bisa saja terjadi. Akan tetapi, apa yang penting bahwa Nabi Nuh mampu bertahan dan tetap yakin pada kuasa Allah sendiri. Jika Nabi Nuh tak tahan dengan cobaan yang ada, mungkin Nabi Nuh cepat berpaling dari Allah atau malah menghakimi Allah.
Komitmen yang dibangun antara Allah dan Nabi Nuh kemudian diperjelas dalam kisah Yesus di padang gurun. Bacaan Injil pada Hari Minggu I Prapaskah mengisahkan bagaimana Yesus konsisten membangun komitmen selama dicobai iblis di padang gurun (Markus 1:12-15). Di padang gurun, Yesus melewati banyak cobaan, baik dari iblis maupun situasi padang gurun yang menakutkan (binatang buas, ketiadaan air, panas, badai gurun, dll). Akan tetapi, kembali ke poin inti yang kita renungkan di pekan awal Prapaskah ini, yakni bagaimana kita membangun komitmen dan bagaimana komitmen itu kita hidupi secara konsisten.
Kita mungkin bisa membayangkan jika Yesus tak tahan dengan godaan. Jika Ia tak tahan membangun komitmen, mungkin Ia dengan mudah digiring oleh iblis. Hemat saya, kuncinya ada pada komitmen. Jika Yesus tak memiliki komitmen ketika memasuki situasi padang gurun, mungkin situasi tersebut tak memberi nilai apa-apa untuk kehidupan dan karya misi-Nya di kemudian hari. Akan tetapi, Yesus selalu taat dan setia pada komitmen yang dibangun sejak awal, yakni taat pada pesan Bapa dengan berpantang dan berdoa. Alhasil, Yesus melalui masa-masa sulit selama di padang gurun dengan baik.
Dari padang gurun, umat Katolik kemudian dimeterai dalam satu ikatan baru melalui air (Sakramen Baptis). "Air itu melambangkan pembaptisan yang kini menyelamatkan kita!" (Petrus 3:21). Dengan meterai air sebagai tanda perjanjian antara Kristus dan Gereja, harapannya umat Katolik dimampukan untuk melewati situasi padang gurun. Maka, komitmen, dalam hal ini menjadi penting untuk dihidupi. Selain komitmen, pil ekstra yang perlu diminum adalah kesetiaan untuk menghidupi komitmen itu sendiri.
Masa Prapaskah saat ini tentunya diberi latar khusus padang gurun modern, yakni pandemi Covid-19. Latar gurun pandemi ini membuat iklim hidup harian kita serba terbatas dan tak terlalu seriuh dan sesibuk tahun-tahun sebelumnya. Kali ini situasi cukup tenang karena berbagai upaya pembatasan. Jika dengan situasi khusus demikian, maka pertanyanyaanya kira-kira komitmen apa yang hendak saya bangun dalam menjalani Masa Prapaskah tahun ini? Apa yang perlu dipantang? Apa yang perlu dibagikan ke orang lain? Intensi apa yang akan diselipkan dalam doa pribadi?
Selamat memasuki Pekan I Masa Prapaskah.