Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Mendeteksi Kekerasan dalam Penegakan Hukum Positif

4 Februari 2021   11:38 Diperbarui: 4 Februari 2021   12:06 650
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Upaya penerapan hukum dalam proses penyelesaian kasus hukum. Foto: mediaindonesia.com.

Penjelasan mengenai kata "Gewalt" menunjukkan bahwa praktik kekerasan dalam positivisme hukum dilegalkan karena ditetapkan oleh otoritas yang sah. Maka, prospek awal dari hukum positif, yakni membendung terjadinya kekerasan, justru hanyalah visi utopis. Kekerasan justru tetap dipraktikkan dengan wajah yang lain. Kekerasan tetap terjadi dengan diselimuti jubah hukum. Keadilan hukum dalam konteks ini tidak lebih daripada suatu retorika yang membujuk penggugat agar mau menerima kekerasan hukum (F. Budi Hardiman, 2007: 195).

Rantai kekerasan justru tidak terputuskan dalam hukum, tetapi mendapat jalan lain untuk penerapannya. Sebagai contoh, kasus nenek Minah yang dituduh mencuri biji kakao. Dalam kasus ini, pihak penegak hukum -- dalam hal ini para hakim -- tidak lagi melihat kemungkinan lain dari penetapan keputusannya, seperti faktor usia, latar belakang ekonomi serta faktor lainnya. Ketika situasi dan konteks terlepas, keadilan hukum akhirnya bersifat tekstual, quod scripsi, scripsi!

Hukum sebagai produk kekuasaan selalu membawa serta unsur kekerasan. Kekerasan yang dilegalkan seringkali mengajak korban untuk menyetujui tindakan kekerasan itu sendiri. Dalam dunia hukum, ada banyak kosa kata asing yang kadangkala mengelabui manusia. Bahasa hukum menghadapkan seseorang pada ketaatan buta -- tunduk di bawah rezim wacana yang dihasilkan oleh hukum. Penegakan hukum melalui putusan seorang hakim juga menjadi bagian dari kekerasan, karena seorang hakim hanya bergerak dalam konstitusi hukum -- quod scripsi, scripsi. Derrida mengatakan bahwa:

"Selama otoritas yang sebenarnya, pendiri atau pendasar, positivisme hukum tidak bisa didefinisikan pada apapun, tetapi pada dirinya sendiri. Mereka pada dirinya sendiri adalah sebuah kekerasan yang tak berdasar. Hal ini tidak untuk mengatakan bahwa mereka pada dirinya tidak adil, dalam arti illegal atau tidak sah" (Derrida, 1992: 242).

Menurut Derrida, hukum hanya mengacu pada dirinya sendiri. Aspek kebaikan bersama dan keadilan tidak lagi menjadi manfaat dan tujuan hukum. Pengertian hukum sebagai sarana untuk mencapai keadilan adalah bentuk kekerasan yang dilembagakan melalui definisi. Melalui definisi, kebebasan seseorang disandera. Sebagai contoh, hukuman yang diberikan kepada setiap pelanggar hukum. Ada pasal yang mengharuskan seseorang dihukum mati. Bunyi pasal ini terakumulasi melalui definisi yang terstruktur dan rigid.

Ruang gerak interpretasi pun hanya diperbolehkan seluas konsep atau definisi yang dibuat. Kekerasan justru kadang beroperasi melalui definisi dan permainan bahasa. Di dalam koridor hukum, keadilan justru dibatasi dengan diberi sebuah pengertian atau dikonsepkan. Ketika konsep keadilan dilembagakan oleh institusi hukum, upaya penemuan unsur keadilan akhirnya dihentikan. Segala upaya penemuan konsep keadilan di luar hukum dianggap sebagai sesuatu yang melawan hukum. Penegakan hukum (law enforcement) akhirnya membujuk orang untuk menyetujui tindakan kekerasan yang diberlakukan oleh hukum

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun