Persoalannya justru ada pada apa yang menjadi konten pembicaraan para tamu dan apa harapannya ke depan. Memilih tempat curhat tertentu biasa saja muncul karena adanya unsur ketidakpercyaan (untrusted).Â
Pertanyaan terbesar untuk saat ini justru demikian: "Kenapa para tamu tak mendatangi Ketua Umum Partai Demokrat saja dan duduk bersama untuk mengkaji dan mengevaluasi keadaan internal partai daripada curhat ke Moeldoko?" Pertanyaan dijawab dengan menduga-duga juga.
Moeldoko menduga, namanya dikaitkan dengan isu Partai Demokrat hanya karena foto-foto para tamu yang bertandang ke kediamannya. Foto memang salah satu alat bukti. Akan tetapi, foto tak bisa dijadikan sebagai alat bukti kuat bahwa Moledoko terlibat dalam isu keadaan internal Partai Demokrat.Â
Jika masalah informasi seputar selebritis (insert), mungkin bukti foto-foto bisa menjadi bahan penggiring opini. Dari sini, Moeldoko berpesan agar Ketum Demokrat AHY tak mudah baperan. Jika AHY mudah "baper," dengan mudah opini lainnya terkait tamu-tamu Demokrat, digiring untuk untuk dijadikan data dan fakta dalam menyuling informasi.
Ada beberapa hal yang mungkin bisa dicermati dalam mengevaluasi situasi ini. Pertama, tamu-tamu yang "curhat" ke kediaman Moeldoko merasa kurang nyaman dengan pimpinan. Kenapa demikian? Logikanya, di rumah sendiri (Demokrat) pasti ada pimpinan dan penasihat. Jika merasa nyaman dan tahu soal fungsionaris kepartaian, anggota partai tak seharusnya membicarakan soal keadaan partainya ke pihak non-partai.
Kedua, pola komunikasi internal partai, justru mengalami gangguan (disorder). Hemat saya, semua informasi terkait lingkungan partai -- apalagi isu sensistif berupa persoalan -- seharusnya menjadi konsumsi internal partai, bukan dipublikasikan.Â
Jika dipublikasikan, itu juga atas izinan pimpinan partai, penasihat partai, dan tim ahli kepartaian. Ini bagian dari kode etik keanggotaan partai. Jika pola komunikasi jelas dan baik, saya yakin, upaya branding informasi tidak mungkin dengan mudah sampai ke orang-orang non-partai.
Ketiga, netralitas dan profesionlitas. Moeldoko sebagai Kepala Staf Kepresidenan tentunya mempunyai posisi netral dalam menengahi berbagai persoalan.Â
Moeldoko tak berafiliasi dengan partai manapun dan ini menjadi identitas seorang staf istana kepresidenan. Tugas ini kemudian dihadirkan dalam praksis nyata Moeldoko untuk berperan "hanya sebatas" jika ia dimintai untuk berbicara terkait persoalan-persoalan tertentu.Â
Oleh karena itu, Moeldoko sangat sensitif ketika problem ini menyentuh nama Presiden Joko Widodo. Tugas Moledoko memang menjaga komunikasi internal lingkaran istana.
Moledoko mengaku prihatin dengan "isi curhat" para tamu. Selebihnya tidak. Jika Moeldoko justru memberi solusi ada pertimbangan kebijakan lain terkait persoalan laiknya partai politik, profesionalitas dan netralitasnya sebagai seorang Kepala Staf Kepresidenan dipersoalkan.