Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bagaimana Rezim Kata Bekerja agar Menciptakan Transformasi Sosial?

31 Januari 2021   08:01 Diperbarui: 31 Januari 2021   08:05 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya menyaksikan sekaligus membaca postingan Najwa Shihab di facebook. Di sana, Mbak Nana -- panggilan akrab Najwa Shihab -- menghidangkan kepada publik profil program TV bertajuk Narasi episode kesekian dengan tema "Cerita Pilu Ruang ICU." Saya kemudian masuk ke kolom komentar. Di sana, riuh saling rajam kata memadati beranda. Ada yang mengapresiasi Mbak Nana, tapi ada pula yang menyerang, mengevaluasi, dan menasihati. Kalian bisa crosscheck bagaimana pandemi kata di beranda kolom Narasi Najwa Shihab mengular.

Fakta lain lagi. Pada awal kehadiran pandemi virus korona, Satgas Covid-19 Indonesia, melalui beranda akun facebook Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, getol menghidangkan informasi mengenai data pasien Covid-19. Setiap hari grafik perkembangan kasus disuguhkan kepada publik. Tiga informasi yang sering dihidangkan, antara lain jumlah kasus pasien positif, sembuh, dan kematian. Suguhan ini, membuat masyarakat selalu up date dengan perkembangan data virus. Akan tetapi, semakin ke sini (mulai Mei 2020 -- sekarang), data pasien Covid-19 tak lagi diinformasikan seperti sarapan pagi.

Perubahan dinamika penyajian informasi ini, khususnya untuk konteks data pasien Covid-19, sangat dipengaruhi banjir komentar yang hadir di masing-masing beranda. Data yang awalnya dijadikan bahan informasi, kini dinilai terlalu horor untuk dicicipi publik. Karena kuasa kata di media sosial, perubahan penyajian informasi pun muncul. Hingga sekarang, laman facebook Kementerian Kesehatan RI justru menghidangkan informasi-informasi positif-terapis yang lebih banyak memberi penguatan terhadap publik.

Saudara-saudara, bacaan-bacaan suci yang diperlihatkan pada Hari Minggu Biasa IV ini, hemat saya juga menyentil soal kuasa kata (the power of the words). Kisah bacaan I yang diambil dari Kitab Ulangan (Ul 18:15-20) memperlihatkan bagaimana kuasa kata memengaruhi relasi Allah dan bangsa pilihan-Nya Israel. 

Kata-kata Yahwe bagi orang Israel dinilai menakutkan. "Kami tidak lagi mau mendengar suara Tuhan, karena kami takut mati" (Ul 18:16). Untuk konteks orang Israel saat itu, kekuatan kata-kata Tuhan, sangat berbahaya bagi kehidupan. Karena itu, Tuhan mengubah strategi pendekatan. Ia kemudian menghadirkan seorang perantara untuk menjembatani komunikasi-Nya dengan bangsa Israel. Ia kemudian memilih Musa sebagai penyambung lidah.

Di mulut Musa, kata-kata Allah disuguhkan dengan cara yang berbeda. Sebagai perantara Sabda Tuhan, Musa benar-benar harus memahami bagaimana ia menghidangkan Sabda kepada orang-orang Israel yang berwatak keras. Dalam perjalanan pendampingan, Musa justru menggunakan pendekatan relasional. Kata-kata yang dipakai, kebanyakan menyanjung-nyanjungi bangsa Israel. Apakah cara ini berhasil? Di tengah formasi keluar dari Mesir, Musa justru mendapatkan banyak hujatan dari bangsa Israel.

Kuasa kata ini, kemudian diperjelas dalam kisah bacaan Injil. Dalam teks Injil Markus (Mrk 1:21-28), kata-kata Yesus sungguh membawa perubahan. Ketika mendengar suara Yesus, roh-roh jahat bahkan dibuat tak nyaman. "Apa urusan-Mu dengan kami hai Yesus orang Nazaret?" (Mrk (1:24). Kata-kata Yesus, dalam hal ini, sudah mampu "mengusik" kenyamanan kelompok atau individu. Dan, ketika Yesus menghardik roh jahat, kuasa kata juga dijadikan sebagai senjata mematikan. "Diam, keluarlah daripadanya!" Dengan porsi kata yang cukup, Yesus justru menciptakan perubahan.

Ketika merayakan ekaristi, Umat Katolik biasanya disuguhi dua jenis hidangan. Pertama, santapan Sabda, dan kedua santapan Tubuh dan Darah Yesus. Keduanya, dihidangkan pada dua jenis meja yang berbeda. Kekuatan dari masing-masing hidangan ini, tentunya sama. Sabda menguatkan proyek pewartaan dan Tubuh dan darah Kristus sebagai kekuatan iman. Mencicipi salah satunya, tentu tak boleh membuat kita sebagai pengikut Kristus merasa kurang. "Manusia hidup bukan dari roti saja, melainkan dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah" (Matius 4:4). Ini artinya, kekuatan kata-kata dapat dijadikan sebagai bekal dalam merawat dan menumbuhkembangkan iman seseorang.

Setiap hari, kita sebagai pengikut Kristus selalu disapa hidangan Sabda Allah. Porsi ini, bisa dibilang sudah lebih dari cukup. Jika selalu mencicipi hidangan Sabda, seharusnya sistem imun kita semakin diperkuat -- setidaknya imun iman di masa krisis apapun. Ciri awal dari tanda bekerjanya Sabda dalam diri seseorang, antara lain jika ia merasa "diganggu, terusik", dan "dibuat tak nyaman." Pertanyaannya untuk kita: "Sejauh mana Sabda Tuhan 'mengganggu' kenyamanan hidup saya selama ini?" Apakah saya selalu merasa "terusik" jika mendengarkan Sabda Allah, atau kesan saya justru biasa-biasa saja -- tak merasakan apa-apa?

Hal yang sama mungkin juga bisa ditarik ke kehidupan kita. Dari ilustrasi narasi Mbak Nana dan postingan Kementerian Kesehatan RI, kekuatan kata-kata justru membuat seseorang atau kelompok tertentu untuk berusaha menemukan konsep, gagasan, cara, atau strategi baru dalam membangun kehidupan. Dengan komentar yang beseliweran di kolom komentar, mungkin Mbak Nana akan mengubah cara penyajian program narasi. Atau dengan kekuatan kata netijen, humas Satgas Covid-19 mencari strategi baru dalam menyajikan informasi.

Perubahan, selalu datang dari kekuatan kata-kata yang dihidangkan. Jika kata-kata tak memiliki "power" apapun, kesan atau reaksi kita mungkin hanya datar saja. Dan jika kita nyaman dengan kata-kata yang selalu meninabobokan, kita akan terlelap dalam keterkungkungan dan zona nyaman kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun