Sekilas kita terbang. Tinggi, di atas awan. Untuk sesaat menikmati semuanya dari ketinggian. Dari atas, dari tempat dimana awan sempat dilihat ke bawah. Tak terlalu lama. Sesaat memberi nuansa yang melebar untuk skema perjalanan hari ini.
Dari atas awan, toh tak semuanya terlihat. Semakin ke atas memang semakin menguasai, semakin otoriter, semakin besar kepala, dan semakin tak jelas. Itu yang dialami ketika ketinggian menjadi dinding diskusi virtual hari ini.
Berangkat dari Yogyakarta International Airport menuju Bandara Soekarno-Hatta Tangerang. Perjalanan ditempuh dalam waktu satu jam. Tidak ada perbedaan waktu antara Jogja dan Jakarta. Cuaca juga sama. Saat ini, tepat saat saya menulis catatan ini, kami berada di ketinggian 8.000 kaki di atas permukaan laut.
Dari atas awan, ingin semuanya terlihat. Tapi awan lagi-lagi tak mengizinkan. Awan memberi warna pada ketinggian. Hanya beberapa puncak yang diizinkan menyeruduk naik menjumpai langit. Terhadap ujung gunung, awan tak berstamina. Ia rela dicakar puncak hingga keindahan terlihat.
Jika di ketinggian, orang cenderung menguasai. Selalu ada kemauan untuk memiliki segalanya, termasuk menggeledah keindahan. Manusia memang demikian. Nalurinya selalu memaksanya juga sekalian orang di sekelilingnya 'tuk menjadi seperti yang dipikirkan.
Di atas awan adalah ilustrasi bagaimana kita bertanggung jawab terhadap kedudukan kita. Jika punya kedudukan tinggi, fantasi sangat terlihat. Hadir dengan tatapan yang menguasai. Di atas awan adalah cara terbaik mengevaluasi yang kelihatan. Apa yang tak sempat diradar pengelihatan, justru kini tersaji apik.
Tentu paham soal yang satu ini. Banyak pemimpin yang nyaman pada ketinggian kedudukan dan cenderung ingin mengeksploitasi semua apa yang tersaji di bawahnya. Itu terjadi. Tapi, menariknya ada orang yang berjuang mengendalikan ketinggian dengan usaha sebisanya. Itu terlihat pada apa yg dilakukan puncak.
Puncak merupakan bagian dari usaha, yakni usaha membuka teka-teki yang disajikan awan. Dari bawah awan, semuanya menjadi teka-teki yang sulit dipecahkan. Kita justru menebak-nebak, bagaimana dengan langit. Apakah langit setia membiru ataukah ada raut lain yang disembunyikan di balik awan? Semakin didalami, awan justru membalasnya dengan hujan, dan kadang kemarahan berupa petir.
Di sekitar kita, banyak "pencakar awan" yang rela berkeringat dan berdarah 'tuk memperlihatkan wajah langit tanpa awan. Pencakar ini hadir melalui para pegiat kebaikan bersama. Hadir melalui pejuang HAM, hadir melalaui praktik-praktik baik dalam kehidupan sosial. Itulah awan juga sesuatu di atas, dan di bawahnya.
Dari seat 7D Batik Air Airlines, ruang refleksi dibangun dan diulas. Tak sadar berujung. Tiba memberitahukan bahwa akhir menndekat. Tepat pukul 12.05, ruang refleksi berakhir. Saya terperanjat saat tiba di Soekarno-Hatta International Airport. "Landing" dan "take a rest!"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H