Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Perselingkuhan dan Edukasi Perkawinan

22 Januari 2021   09:21 Diperbarui: 22 Januari 2021   09:28 1513
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi perselingkuhan dalam hidup berkeluarga Foto: pesona.co.id.

Alasan yang seringkali muncul biasanya beraneka ragam, diantaranya karena kondisi perkawinan tidak lagi menyenangkan, tidak adanya kecocokkan, konflik yang terus menerus, dan mengantrinya harapan yang tidak terpenuhi antar-pasangan. Selain faktor-faktor internal yang terlihat ini, masih banyak pula faktor lain di luar perkawinan yang memicu perselingkuhan, yakni adanya peluang dan kesempatan, memiliki networking yang luas dengan teman, dan problem menggerusnya area finansial.

Problem selingkuh juga ditengarai oleh beberapa fenomena berikut. Pertama, permasalahan seks. Salah satu kepuasan pernikahan menurut Klagsburg (Aqmalia & Fakhrurrozi, 2009) adalah menikmati kebersamaan dengan pasangan. Kepuasan ini berkaitan dengan perasaan bahagia yang dirasakan oleh kedua pasangan dari pernikahan yang dijalani. Pasangan yang tidak merasakan kepuasan/keintiman ini, akan berupaya untuk mencari kepuasan seksual di luar penikahannya. Perasaan kesepian, baik secara fisik maupun emosional, acapkali terjadi pada pasangan yang bekerja di tempat atau kota yang berbeda, pasangan yang mementingkan karier, dan bepergian dalam jangka waktu yang lama. Selain itu, pasangan menemukan keengganan atau kebosanan dalam mengekspresikan keintiman hubungan yang terasa monoton dan tanpa gairah.

Kedua, konflik yang terus menerus. Terjadinya cekcok dalam rumah tangga juga bisa menjadi salah satu alasan perselingkuhan. Apalagi jika pola komunikasi suami istri tidak baik. Konflik kecil pun bisa menjadi hal yang besar. Penyebabnya pun bermacam-macam, mulai dari penghasilan yang tidak mencukupi, kekurangan dalam menerima pasangan apa adanya, menaruh harapan yang tinggi, masakan yang tidak enak hingga idealisme mendidik anak. Saat suami maupun istri penat dengan pasangannya, akan menjadi bahaya jika di luar sana ada sahabat dari lawan jenis yang masuk mengisi kondisi tersebut.

Ketiga, adanya peluang dan kesempatan. Terbukanya kesempatan untuk melakukan perselingkuhan, umumnya ditengarai oleh kemudahan bertemu dengan lawan jenis di tempat kerja dan berbagai sarana komunikasi yang mendukung permainan relasi. Hubungan intim dengan orang ketiga dapat bermula dari pertemanan biasa, kemudian berlanjut semakin dalam ketika masing-masing membuka diri dan saling menceritakan permasalahan dalam rumah tangga (bdk. Glass & Staeheli, 2003). Selain itu, dengan adanya media sosial yang bisa mengakses siapa saja, di mana saja, dan kapan saja dengan kebutuhan akan apa saja, memberikan celah untuk menjalin hubungan gelap tanpa ada yang mengintervensi. 

Keempat, abnormalitas atau animalitas seks. Banyak suami yang secara diam-diam (aktif) menonton video-video porno yang vulgar dan penuh variasi cenderung menjadikan mereka tidak manuasiawi (animalistis). Pasangan kadang menuntut hubungan seks mereka bisa seperti apa yang ditonton. Akan tetapi, yang terjadi bahwa banyak istri yang menolak karena merasa perlakuan suami yang semakin tidak etis.

Evaluasi Keluarga 

Perkawinan Kristiani bersifat sakramental indissolubilitas/tak terceraikan. Berhadapan dengan berbagai masalah yang dihadapi dalam perkawinan, pasangan suami-istri hendaknya  menyelesaikannya dengan memperhatikan hal mendasar dari perkawinan itu sendiri. Berhadapan dengan masalah selingkuh dalam hidup perkawinan, pasangan suami- istri perlu diingatkan untuk kembali pada komitmen awal hidup perkawinan, khususnya pada janji untuk selalu setia sampai mati.

Selain itu, perlu ditegaskan pula bahwa perkawinan Kristiani dikukuhkan khusus atas dasar sakramen (Kan. 1056). Perkawinan sebagai sakramen yang ditandai dengan adanya kesepakatan nikah dan telah disempurnakan dengan persetubuhan (consumatio) antara suami-istri ini berciri tak-terceraikan secara mutlak (Robertus Rubiyatmoko, 2011). Perkawinan ini tidak dapat diputuskan oleh kuasa manusia mana pun kecuali oleh kematian (Kan. 1141).  Maka, hidup perkawinan itu hendaknya dipelihara sehingga menjadi lambang dan sarana kehadiran Allah yang senantiasa menyelamatkan.

Oleh karena itu, pilihan tindakan sebagai suami dan istri selalu diarahakan sebagai tindakan Allah yang menyelamatkan. Hubungan suami dan istri dalam tradisi Gereja, bahkan dalam Kitab Suci diangkat sebagai hubungan Allah dan umat-Nya. Allah tetap setia kepada umat-Nya, meskipun manusia kadang menyimpang dari kehendak Allah. Hal yang sama juga hendaknya dibangun dalam hidup perkawinan. Sebagaimana hubungan Allah dan umat-Nya yang selalu terbuka terhadap mereka yang menyimpang dari jalan-Nya, suami-istri pun diharapakan tetap saling menerima satu dengan yang lain.

Hal lain yang perlu diingat pula bahwa dalam Kitab Suci sangat ditekankan mengenai ekslusivitas dari perkawinan itu sendiri. Dalam hidup perkawinan, keduanya bukan lagi dua melainkan satu (Mat 19:6), maka segala milik suami adalah milik istri dan sebaliknya termasuk dalam hal ini adalah tubuhnya sendiri (bdk. 1Kor 7:4). Oleh karena itu, dalam kasus perseselingkuhan yang digarap kelompok dalam tulisan ini, masing-masing pasangan diharapakan untuk berusaha menjaga apa yang sudah menjadi miliknya agar tidak jatuh pada orang lain. Pada akhirnya, pengampunan untuk saling menerima kembali perlu dilakukan agar hidup perkawinan dapat terus berlanjut -- sebagaimana nabi Hosea yang mau menerima istrinya yang telah bersundal (Hos 1-3). Dalam hal ini, yang ingin ditegaskan bahwa perkawinan hendaknya berciri setia sepenuhnya. Dalam keadaan apapun, suami-istri harus setia, seperti Allah yang selalu setia kepada umat-Nya.

Maka, hemat saya keterbukaan untuk terus mengevaluasi kehidupan berkeluarga adalah solusi praktis mengatasi problem perselingkuhan. Solusi ini tentunya mampu mengontrol 'libido' ketidaksetiaan dalam menghidupi janji dan mengetatkan relasi. Keluarga akan terasa diawasi, justru ketika dalam durasi kehidupan mereka ada space untuk mengevaluasi perjalanan hidup. Inventarisasi baik-buruk kehidupan bersama adalah salah satu karakter menuju kemajuan. Sebagaimana dalam hidup membiara dengan kebiasaan koreksi fraternal (correctio fraterna), hendaknya di dalam keluarga kebiasaan ini dihidupi. Masing-masing orang, baik suami, istri maupun anak memiliki kesempatan untuk memberikan komentar dan input. Dengan menghidupi sistem evaluasi seperti ini, sejatinya simptom-simptom menuju keretakan hidup bersama dapat dibendungi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun