Ya, esok. Esok Tuhan akan datang. O...erocras. O Emanuel. O Radix. O Oriens. O Clavis. O Rex. O Adonai. Dan, O Sapientia. Inilah seruan yang muncul menjelang Natal tiba. Ketika Tuhan datang untuk kesekian kalinya, harapannya, kita didapati tengah membawa lentera. Kita didapati-Nya sedang berjaga-jaga. Harapannya, kita tengah siap-sedia, meski atmosfer global dan sekitar, kurang mendukung.
Natal tahun ini memang berbeda. Tak ada kerumunan. Perayaan Ekaristi dibatasi. Jika mau ikut ekaristi malam Natal, perlu mendaftar ke panitia Natal. Di dalam gereja, tak diizinkan untuk berdekatan. Jadi aneh sebetulnya. Dari rumah barengan satu keluarga. Tiba di dalam gereja, semuanya dipisahkan. Jaga jarak (physical distancing).
Untuk komunitas domestik seperti keluarga, tetap perlu jarak dijaga. Di sini perayaan Natal menjadi sebuah dilema, sekaligus keharusan. Keluarga yang lama tak menjumpai Tuhan dalam cecap dan sentuh -- Tubuh dan Darah-Nya -- hingga Natal tiba di penghujung 2020 tetap menjaga jarak. Apa boleh buat? Ya memang, hanya itu yang boleh dibuat.
Akan tetapi, kita tetap optimis dengan menerapkan 3M -- mencuci tangan, menjaga jarak, dan memakai masker. Jika semuanya ini dipatuhi dengan sadar, optimisme menyambut Tuhan dalam perayaan Natal tahun ini tak dijegal pandemi Covid-19. Kita tak boleh membiarkan Tuhan sendirian tanpa penyambutan. Kita tak boleh apatis hanya karena pandemi mengontrol ruang gerak kita.
Dari tanggal 17 Desember seruan penyambutan Yesus Sang Juruselamat sudah dikumandangkan. Datanglah Sang Kebijaksanaan. Datanglah Sang Emanuel. Ini semua adalah bentuk kesiapsediaan kita menyongsong Natal. Dari bijak mempersiapkan segalanya, kita diantar pada ketenangan dalam menyambut Sang Juruselamat. Sang Emanuel -- Tuhan menyertai kita.
Cuaca dan atmosfer lingkungan sosial memang membatasi pergerakan langkah kita untuk menyambangi kandang dimana Tuhan lahir. Hujan adalah berkah. Pandemi, sejatinya menjadi kertas yang perlu diisi selama sekujur 2020 ini menjelang datangnya Tuhan. Artinya, kita menempatkan pandemi sebagai latar refleksi kita menyambut Tuhan. Lalu, apa yang perlu dibawa?
Hemat saya, kado terindah yang bisa dibawa ke dekat palungan adalah kesetiaan. Setia menyambangi Tuhan. Setia menjadikan Tuhan sebagai pelindung, pemberi jalan, penerang, penguat, dan pemberi sukacita atas seluruh alur kehidupan kita. Kita bersyukur, karena dalam situasi pandemi ini, semua orang tetap berharap pada Tuhan Sang Pemilik Hidup. Inilah ciri kesetiaan kita. Kita setia, bukan dalam spasi temporal -- saat kesulitan dan bencana datang.
Jalur 2020 memang cukup panjang. Terhitung 12 bulan, 360 hari. Dalam pencobaan kurun waktu yang lebar ini, kita tetap mengimani Tuhan. Dalam kurun yang cukup lebar ini, kita tetap diberi kesempatan untuk hidup. Maka, bersyukur itu menjadi penting. Meski perayaan Natal tahun ini tak semarak (jumlah massa) hari kemarin, kita tetap bersyukur. Kita bersyukur bahwa Tuhan tetap berani hadir menyambangi manusia di saat pendemi menyerang.
Tuhan berani turun (inkarnasi). Tuhan berani blusukan. Tuhan berani menghampiri kerumun. Ini artinya, dalam segala hal, Tuhan tetap setia pada siapa saja yang mempercayai-Nya. Kandang memang replika kehadiran Yesus di sini dan saat ini. Akan tetapi, kandang atau tempat Yesus lahir di tengah masa pandemi ini, tak lain adalah hati kita masing-masing. Untuk itu, kesiapan hati adalah tanda bahwa kita mencintai Dia. Sudahkah kita mempersiapkan tempat Yesus lahir?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H