"Anak Tapal Batas Belajar Gaya Hidup Sehat." Inilah judul berita Harian Pos Kupang pada kolom Timor, Sabu dan Rote, Rabu, (12/9/2020). Lucunya belajar hidup sehat ini diapiti kata "gaya." Konotasi kata "gaya," seolah-olah membuat hidup sehat itu sesuatu yang terpisah dari cara hidup harian.
Anak-anak SD kok diajari gaya? Bukan hanya gaya, tapi gaya hidup. Apakah dengan atribut gaya, hidup sehat lebih bermakna? Bukankah dalam gaya, ada ongkos (harus beli ini-itu) demi menunjang gaya itu sendiri? Bukankah atribut gaya bersifat situasional (tak melekat karena ditopang situasi)? Apakah anak-anak tapal batas perlu gaya biar bisa hidup sehat?
Apa yang dilakukan anggota TNI bersama anak-anak tapal batas mungkin tak demikian. Mereka mungkin sedang menggotong "budaya" (bukan gaya) hidup sehat untuk anak-anak tapal batas. Tapi, pembawa pesan rupanya seolah-olah menyajikan realitas tanpa pesan yang menetap. Terlalu banyak bumbu hingga intinya tak sempat dicicip.
Karena "gaya," hidup sehat menjadi sesuatu yang sulit dikejar. Kan gaya. Dalam benak saya, gaya itu semacam tren atau brand. Gaya hidup sehat, lalu dengan sendirinya menjadi tren yang tak ada sebelumnya. Gaya hidup sehat menjadi "brand marketing." Jika mau hidup sehat, Anda perlu gaya. Tepatnya gaya hidup.
Saya pernah menulis bahwa gaya hidup tak murah. Gaya hidup selalu membutuhkan ongkos. Dengan kata lain, uang sebanyak apapun tidak akan pernah cukup untuk mengejar (baca: membeli) gaya hidup. Memang demikian. Yang namanya gaya, ongkosnya tak sedikit. Bagaimana hidup sehat perlu gaya?
Dalam pemberitaan Pos Kupang, yang dimaksud dengan "gaya hidup sehat" adalah soal cuci tangan. Anak-anak dilatih khusus oleh beberapa anggota TNI di wilayah perbatasan untuk "menghidupkan" gaya hidup sehat. TNI mengampanyekan bagaimana hidup sehat di tengah pandemi Covid-19. Menyentuh, tapi tidak akrab dengan realitas. Mungkin karena penyajiannya yang mengaburkan.
Dalam hal ini, saya justru memahami bahwa hidup sehat bukanlah sesuatu yang melekat pada diri anak-anak di tapal batas. Jika ditelusur dari judul berita, jelas bahwa anak-anak SD di wilayah perbatasan tak tahu yang namanya hidup sehat. Makanya mereka perlu belajar. Ironisnya, belajar, tapi dengan satu brand, yakni gaya hidup.
Saya mengapresiasi tindakan TNI yang menggotong budaya hidup sehat di lingkungan anak-anak SD tapal batas. Tapi, saya sendiri risih dengan istilah yang dipakai redaksi Pos Kupang yang menyebut anak-anak belajar gaya hidup. Lagi-lagi, istilah gaya hidup yang dikemukakan Pos Kupang sepertinya tidak tepat untuk konteks yang diberitakan.
Jika menggunakan kata budaya hidup sehat, mungkin kedengaran dan pemaknaannya lebih mengena ketimbang mengatakan gaya hidup. Membudayakan itu kata yang lebih pas dengan apa yang dilakukan TNI bersama anak-anak tapal batas. Budaya juga menunjukkan bahwa sesuatu itu sudah ada, dan perlu dilestarikan. Apakah anak-anak tapal batas tak punya atau menyentuh budaya hidup sehat?
Tentu jawabannya tidak. Mereka sudah menghidupi itu. Hanya saja ada "penekanan" tertentu dengan upaya menyadarkan. Jika dipakai term "gaya hidup sehat," konotasinya pun lain. Gaya hidup berarti menjual suatu produk cara atau pola tertentu dalam hidup. Itu artinya, gaya hidup terlihat lebih dipaksakan untuk menyatu dengan situasi atau orang tertentu.
Gaya selalu datang dari luar. Gaya juga selalu datang terlambat dalam arti ia hadir menerapkan sesuatu yang sama sekali baru dan membuat orang merasa bergantung padanya untuk waktu yang singkat. Jika hidup sehat itu gaya, hal itu tentunya berarti bahwa ia sebelumnya tak ada. Konsep ini bertentangan dengan realitas hidup anak-anak tapal batas yang sudah lama hidup sehat.