Kita baru saja menyelesaikan satu event besar bertajuk pesta demokrasi. Pesta ini diselenggarakan pada 9 Desember kemarin. Sebagian besar konten dari pesta ini diisi oleh upaya memilih siapa putra daerah yang mampu menakhodai kapal sejauh lima tahun mendatang.
Dari hasil rekapitulasi dewan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Indonesia, sebagian besar mereka yang lolos pada pilkada kali ini adalah para pendatang baru. Para petahana kali ini banyak yang tumbang.
Pesta telah usai. Pemimpin sudah dipilih. Pemimpin futuris ditunggu-tunggu dengan berbagai prospek. "kelak kami merdeka," sahut kaum tak berpunya (hopeless).Â
Jika mau berkaca, dalam hitungan lima atau tujuh tahun ke arah lampau, rumah kita Indonesia dihebohkan dengan sketsa kinerja para pejabat publik yang korup dan tamak -- wajah pemimpin yang miskin nilai-nilai hidup. Ruang birokrat kala itu, bisa dikatakan kebanyakan dikerumuni para "tuna etik".
Jendela peristiwa memotret serangkaian geliat kotor para politikus tambun bangsa ini. Hendak dibawa ke mana 'kita-kita' ini oleh pemimpin tamak, tambun, kamuflase, minim etik, dan korup itu?
Jika kali ini banyak pemimpin baru yang muncul di kursi kepala daerah, bisa jadi, hal ini adalah antitesis dari sekelumit geliat kotor para pemimpin dan politikus yang membuat masyarakat resah dan muak. Dari atmosfer ini pun, lahirlah sebuah transformasi. Ada keinginan untuk dipimpin oleh wajah-wajah baru, kebijakan baru, dan proyek baru.
Jika ditelisik dan direfleksikan lebih dalam, kita sudah dipimpin atau "diwakili" oleh begitu banyak tuna etik. Mereka menyandang gelar palsu dan punya jejak mencekam.
Bayangkan, jika mereka-mereka itu berkeliaran dan memublikasi diri pada Pemilu, bisa kacau republik ini. Indonesia merasa kenyang dengan janji-janji muluk, tetapi tetap haus dan lapar akan sosok pemimpin yang bijaksana, legowo, lagi tangguh dalam memimpin.
Krisis pemimpin memang sudah menjadi polemik akbar di negara ini. Naiknya kader baru pada pucuk pemerintahan Indonesia hanya membebankan rakyat. Tak banyak yang mau melayani. Tak banyak yang mau blusukan. Tak banyak yang mau berkorban.
"Kami ini hanyalah pekerja dari pemilik saham yang bernama rakyat. Kami bekerja pada perusahaan bernama Indonesia dan pemiliknya adalah rakyat," tegas Joko Widodo, saat menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta dalam membuka topik Public Opinion di Monas Jakarta Pusat (Satu Tahun Kepemimpinan Jokowi-Ahok, Jumad, 18 Oktober 2013 silam). Pertanyaannya: "Mengapa hanya mereka yang menyentuh dasar, beretika, dan dapat diandalkan?"
Membidik sosok pemimpin biduk zaman ini, cukup sulit dijaring. Semuanya sudah dipukat KPK. Stok orang bersih dan merakyat sebenarnya masih mengantre. Akan tetapi, selalu ada pertanyaan siapa yang berani dan mau mengekspos mereka ke ranah publik -- apalagi ketika prinsip keadilan yang merupakan musuh bebuyutan para tuna etik birokrat selalu dijegal kekuasaan.