Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Komunikasi Politik dan Diplomasi Media Sosial Donald Trump

17 Desember 2020   12:51 Diperbarui: 17 Desember 2020   12:55 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kala itu, tepatnya empat tahun silam: Tahun 2016. Tahun 2016 baru saja berlalu dengan suasana penuh ketidakpastian global serta beragam kejutan. Salah satunya adalah terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) periode 2017-2021 mengungguli Hillary Clinton yang justru diprediksi banyak jajak pendapat sebagai pemenang Pemilu.

Dengan sikapnya yang kontroversial dan pernyataannya yang ceplas-ceplos berbau SARA, seperti anti imigran Muslim dan Meksiko, kampanye menyiksa tahanan teroris, menuduh imigran Muslim adalah sumber terorisme di AS, tentunya memperkuat sebagian besar jajak pendapat mengenai kemungkinan kekalahan Trump dalam pemilihan presiden.

Akan tetapi, dengan strategi pemenangan yang terukur dan memaksimalkan penggunaan sosial media, Trump justru membalikkan keadaan, bukan saja berhasil memelihara dan meningkatkan elektabilitasnya, tapi juga menarik perhatian masyarakat AS untuk memilihnya. Seperti dikutip dari laporan EzyInsight, sebuah lembaga penelitian dari Finlandia, salah satu upaya yang membuat Trump bertahan dalam persaingan dengan Hillary Clinton adalah karena pemahamannya mengenai pentingnya penggunaan sosial media.

Menurut EzyInsight, di Facebook saja, Trump unggul dari Hillary dalam hal jumlah pengikut (followers). Trump memiliki pengikut sebanyak 11.8 juta orang saat itu, sedangkan pengikut Clinton hanya berjumlah 7,7 juta orang. Menurut EzyInsight, banyaknya pengikut dalam sosial media sangat penting karena semakin banyaknya jumlah pengikut, maka semakin besar kemungkinan orang mengenalnya dan menerima pesan-pesan yang dikirimkan.

Berbekal pengalaman penggunaan sosial media untuk meraih kursi Presiden, Trump tampaknya ingin mengulangi kesuksesannya dengan mengadopsi penggunaan sosial media untuk ruang lingkup yang lebih luas. Sebagai seorang kepala negara dari sebuah negara adidaya, Trump tampaknya ingin membuat tradisi baru komunikasi diplomatik dengan memotong jalur komunikasi diplomatik yang ada selama ini.

Pada saat bersamaan, ia pun ingin menunjukkan kepada dunia bahwa meski dirinya adalah seorang kepala negara, namun ia tetap bagian dari masyarakat. Karena itu, meskipun belum resmi menjabat sebagai Presiden AS, Trump langsung memanfaatkan media sosial untuk mengomunikasikan pesan-pesannya ke dunia internasional. Melalui Twitter 28 November 2016, ia mengingatkan Kuba bahwa pemerintahannya akan mengubah hubungan AS-Kuba jika Havana tidak memberikan Washington "perjanjian yang lebih baik."

Tidak cukup dengan pernyataannya mengenai Kuba, pada 2 Desember 2016 Trump kembali mengeluarkan pernyataan lewat akun Twitter-nya untuk membenarkan percakapannya dengan Presiden Taiwan Tsai-Ing-Wen --  percakapan yang membuat Beijing meradang. Serangkaian komunikasi diplomatik yang dilakukan Trump ini, memunculkan pertanyaan banyak orang terkait efektifitasnya, meski tidak sedikit pula yang memuji improvisasi Trump di sosial media sebagai suatu bentuk penyegaran ritual diplomatik sejak Pemerintahan Richard M Nixon.

Lalu, bagaimana setelah akat demokrasi 2020 kemarin? Pemilik portal Twitter dengan jelas memblokade segala kampanye politis terkait pemilu. Trump kemudian meradang. Ia bahkan mengancam bos Twitter untuk menutup perusahaannya jika kebijakan blokade penggunaan Twitter diberlakukan. Trump merana. Diplomasi media sosial pada periode pemilu 2020 tak berjalan mulus.

Strategi Trump dalam mendulang suara tak lagi diminati para pengguna media sosial. Kampanye-kampanyenya yang berbau rasial ditambah polemik besar terkait perang dagang (trade war) dengan Cina membuat elektabilitasnya menurun. Trump dinyatakan gagal merebut Gedung Putih. Trump gagal menggunakan diplomasi ala media sosial.

Hal ini tentunya bisa dikritisi. Pertama, masayarakat yang selama ini sebagian besar menggunakan media sosial mulai paham dengan konsep-konsep penggunaan media sosial yang sebenarnya. Kedua, Pemahaman masyarakat mulai bergeser dari sekadar follower menjadi kritikus. Dalam hal ini, media sosial tidak hanya menjadi sarana kampanye, tetapi juga menjadi institusi pendidikan terutama dalam memperlebar cakrawala berpikir kritis. Inilah yang terjadi di Amerika Serikat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun