Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Dilema Duel Vaksin, Vaksin Korupsi dan Vaksin Covid-19

13 Desember 2020   13:00 Diperbarui: 13 Desember 2020   13:08 592
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karikatur KPK. Sumber: karitur.blogspot.com.

Ibarat rumah sakit tempat penanganan pasien Covid-19, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hiruk-pikuk mengurus pasien virus korupsi. Hingga saat ini, belum ada laporan bahwa para petugas KPK kelelahan atau depresi gara-gara mengurus pasien-pasien terpapar virus korupsi. Kita salut, karena para petugas KPK, laiknya para petugas medis selalu sigap membantu memotong rantai penularan korupsi di negeri ini.

Dua Minggu belakangan, ada beberapa pasien yang berhasil ditangani petugas KPK. Beberapa pasien ini diketahui mempunyui pengaruh besar terhadap upaya penularan virus korupsi. Ketika dijaring, dikarantina, dan dimintai keterangan, para petugas KPK berusaha mencari, kira-kira siapa-siapa saja yang sudah berkontak langsung dengan para pasien ini. Ada beberapa nama yang disebut-sebut telah berkontak langsung. Akan tetapi, ada juga masih berstatus orang dalam pantuan KPK (ODP-KPK).

Semua fenomena ini tentunya cukup memilukan. Negeri ini ditimpa banyak malapetaka berupa virus. Virus-virus ini sungguh mematikan. Dua institusi kewalahan mengurus. Rumah sakit penuh sesak dan petugas medis kelelahan. KPK juga ikutan penuh. Rompi orange tiap Minggu dipesan untuk mengkarantina pasien-pasien baru virus korupsi. Kedua institusi ini, akhir-akhir ini memang sibuk. Mari kita mengapresiasi mereka.

Saya mengibaratkan bangsa dan negara ini seperti tubuh manusia. Dalam tubuh yang sehat, terdapat jiwa yang sehat pula. Tubuh rentan terhadap berbagai objek yang keluar masuk melalui sistem indra manusia. Penyebab luluhnya mekanisme kerja dalam tubuh idealnya dipengaruhi oleh redupnya sistem kekebalan tubuh. Tubuh yang tidak memiliki suplemen pasokan energi yang memadai mengantar seluruh bagian tubuh yang lain mandek -- tidak berjalan, keropos, salah haluan, kesakitan, dan bahkan punya mimpi bakal masuk liang lahat.

Kendati dalam memerangi problem ini, tim medis menganjurkan adanya vaksin -- zat antibodi yang dimasukan ke dalam tubuh untuk melawan sekaligus menghajar bibit-bibit penyakit -- yang berusaha mengganggu mekanisme pertahanan tubuh. Tubuh jadi kuat, energik, mengalami proses perkembangan, dan terproteksi dari segala wabah yang berkecamuk. Imunisasi tubuh melindunginya dari ancaman penyakit.

Hal serupa hendak digali oleh penulis mengenai postur birokrat yang saat ini bak orang yang tidak memiliki antibodi (zat) untuk melumpuhkan penyakit mematikan bernama korupsi. Analogi tubuh manusia disandingkan dengan tubuh birokrat (bahasa kiasan), kedua-duanya sangat membutuhkan vaksin sebagai alternatif payung security atas serangan mematikan paenyakit korupsi. Korupsi sebagai ebola dalam birokrat, hingga detik ini belum menemukan solusi pasti plus ampuh untuk menerjangnya. Penagkal dan farmasi publik hanyalah upaya preventif yang malah menambah tingginya grafik pasien pengidap virus ini.

Ada wacana bahwa sepertinya sistem imun dengan zat pro-korupsi lebih dini disuntikkan ke dalam tubuh koruptor -- nama pasien pengidap virus korupsi. Berbahaya serta mudah menular melebihi kecepatan F16 -- ditandai dengan maraknya para pemangku kebijakan dan elit negara yang dijaring tim KPK. KPK sebagai lembaga ad hoc berupaya memukat para pasien pengidap virus korup.

Ada banyak indikasi pasien yang terinfeksi, salah satunya muncul penyakit baru, yakni tidak tahu malu, tak bermoral, dan bahkan ada yang sampai sinting karena 'data yang dicurinya' harus dikembalikan berlapis-lapis. KPK kewalahan mengarantina para pasien korupsimaniak di negeri ini. Sistem imun belum mendapat reaksi apa pun -- belum menyentuh akar rumput (grass root) akibat pembengkakkan virus ini; sedangkan jumlah pengidap semakin menjamur. Mati satu tumbuh seribu.

Sebenarnya bangsa ini harus malu menyaksikan geliat kotor para elit politik kita yang serampangan, rakus, tunaetik, dan tumpul moral. Sangat keterlaluan jika sebuah negara demokrasi seperti Indonesia harus mendirikan institusi khusus (Komisi Pemberantasan Korupsi) untuk menangani problem mematikan seperti korupsi.

Dalam hal ini, kita boleh menyebut aksi korupsi itu sendiri merupakan sebuah institusi yang wujudnya privat -- untuk kalangan pejabat dan elit negeri ini -- yang pada akhirnya melahirkan bibit-bibit koruptor yang kini berdiri sejajar dengan KPK. Berdiri sejajar menggambarkan kehadiran lembaga  pemberantasan korupsi menjawabi kehadiran geliat para tunaetik tadi. Lantas, zat apa yang mampu menumpas habis virus mematikan dalam postur birokrat negara ini?

Tubuh negeri ini semakin kurus, keropos, dan kebanyakan gerbong perekonomiannya mandeg. Rupiah melemah tentunya menambah pahitnya masa depan bumi pertiwi. Sendi-sendi tulang demokrasi disedot habis oleh kerakusan dan ketamakan para srigala birokrat. Indonesia tanpa vaksin, tanpa antibodi, dan tanpa pastor, pun tanpa arah.

Kita menanti vaksin!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun