Final kompetisi pilkada 2020 hampir berada di lap terakhir. Masing-masing pasangan calon (paslon) sesegera mungkin membenah diri, tim kampanye, dan alat peraga kampanye. Untuk memastikan semua perayaan seremonial pesta demokrasi di tanah air berlangsung dengan baik, upaya pengetatan ruang keamanan perlu diupgrade. Masing-masing paslon dan buzzer, baik yang offline maupun yang online, diharapkan untuk menahan aksi-aksi apapun di akhir babak penentuan.
Final kompetisi pilkada, sesuai jadwal Komisi Pemilihan Umum (KPU) Indonesia akan diselenggarakan pada 9 Desember 2020 mendatang. Dari pantuan yang ada, potensi untuk membuat keributan kian terlihat. Tensi masing-masing kubu paslon, sepertinya sudah kehabisan cara dan mau menerapkan cara-cara tak sportif saat kompetisi final menghampiri. Di beberapa daerah, tensi keributan ini sudah mulai muncul di permukaan. Apakah pesta demokrasi mengharuskan kericuhan? Di mana esensi pesta dalam berdemokrasi?
Pada Sabtu (28/11/2020), polisi Kabupaten Malaka, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) berusaha mengamankan 13 simpatisan paslon Pilkada Malaka yang terlibat tawuran. Ketigabelas simpatisan ini diamankan oleh aparat keamanan Kab. Malaka karena diduga mempersiapkan diri dengan membawa sejumlah senjata tajam, kayu, dan batu saat tawuran. Aksi tawuran itu berlangsung di lokasi Jembatan Benanai, Desa Haitimuk, Kecamatan Weliman, Kab. Malaka, NTT.
Selain menangkap 13 orang yang diduga potensial membahayakan nyawa sesama, polisi juga mengamankan sejumlah barang bukti berupa senjata tajam, satu unit mobil pickup, ketapel, sejumlah kayu, batu, dan panah. Saat ini, 13 simpatisan masing-masing paslon tengah ditahan di Mapolres Malaka untuk dimintai keterangan lebih lanjut. Menurut Kabidhumas Polda NTT Kombes Pol Johannes Bangun, aksi tawuran ini sangat mengganggu proses pelaksanaan pilkada pada 9 Desember 2020 nanti. Untuk itu, Johannes berjanji akan menindak tegas siapa saja yang akan mengganggu kenyamanan proses pilkada nanti.
Daerah NTT memang seringkali dekat dengan aksi tawuran menjelang pilkada. Pada periode pilkada 2014, kasus tawuran yang melibatkan sejumlah massa pendukung paslon terjadi di daerah Sumba Barat Daya, NTT. Kala itu, massa pendukung paslon terlibat saling cekcok, perang, dan saling panah. Akibatnya, banyak korban yang tewas karena saling mempertahankan kubu paslon. Masalah ini sempat dibawa ke ranah hukum, ketika Akil Mochtar masih menjabat sebagai ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Indonesia. Meski sudah diajukan ke MK, tensi kericuhan di akar rumput (grassroot) tetap membara.
Warna pesta demokrasi kita memang masih jauh dari harapan akan kedamaian dan ketenteraman. Perang antar-kubu, seringkali menjalar hingga ke hal-hal lain, seperti isu suku, agama, ras, keluarga, dan budaya. Di Indonesia, hal semacam ini memang lumrah terjadi. Sengketa pemilu 2019, tentunya bisa menjadi pijakan yang segar bagi seluruh warga tanah air ini untuk berefleksi dan memberi evaluasi mengenai pesta demokrasi.
Jika demokrasi itu soal rakyat yang memilih, kenapa pestanya cenderung mengerikan? Apakah rakyat tahu soal pesta demokrasi yang sesungguhnya? Apakah korban nyawa adalah sesuatu yang dicapai dalam pesta demokrasi? Ataukah, demokrasi itu hanya sebuah tren supaya kita tidak dibilang terlalu konservatif? Sejak pasca Orde Baru, semangat demokrasi sudah dimulai. Prospeknya, segala tindakan yang adil dapat dicapai dan memenuhi keinginan seluruh warga negara. Akan tetapi, prospek ini jauh dari angan-angan. Demokrasi justru mati di tangan orang-orang yang ambisius. Kita patut memberi ruang refleksi yang cukup lebar soal ajang pesta demokrasi di negeri ini. Pertanyaannya adalah "Kapan seharusnya kita merayakannya secara tenteram dan damai?"
Di tengah arus globalisasi dan tegangan yang diperkeruh oleh kehadiran teknologi, kadang-kadang nurani kita tumpul untuk menilai. Kita banyak kali mengadopsi hal-hal yang sifatnya sesaat dan mengabaikan proses yang seharusnya. Ibarat pesta yang sesungguhnya, kemananan dan persaudaraan adalah hal yang seharusnya dihidupi dalam ajang pesta demokrasi. Jika cenderung mengarah ke hal-hal yang memecah-belah, seperti tawuran, cekcok, fitnah, saling terkam, dan bahkan merenggut nyawa, sejatinya kita belum paham dan sampai pada pemahaman tentang pesta demokrasi yang sesungguhnya.
Menuju pilkada 9 Desember 2020 mendatang, kita berharap aparat keamanan bisa bekerja ekstra dan bertindak tegas terhadap kubu-kubu yang melanggar kedamaian dan ketenteraman ajang pesta. Mereka yang punya potensi untuk membuat kericuhan segera diproses dan bila perlu dikarantina sesaat agar tidak menggangu seremonial para konstituen yang benar-benar mencari sosok pemimpin yang berintergritas, jujur, dan adil.
Perang pada lap terakhir ajang pilkada juga kadang lahir dari kampanye provokatif di media sosial. Alat kampanye, seperti media sosial biasanya mudah menggiring siapa saja untuk melakukan aksi-aksi tak terpuji menjelang pilkada. Maka, peran pihak keamanan perlu hadir secara rutin untuk mengecek kegiatan-kegiatan dan opini-opini meresahkan yang kerapkali menjamur di portal media sosial. Akun-akun yang potensial menyebar isu perpecahan, perlu diselidiki, diproses, dan diberi sanksi tegas. Efek jera dan transformasi perilkau biasanya akan muncul seiring penerapan aturan-aturan demikian dilakukan dengan tegas.
Kita berharap, ajang pesta demokrasi pada 9 Desember nanti berjalan dengan aman, damai, jujur, tenteram, adil, dan sportif. Karena kita memilih pemimpin, kita perlu menciptakan iklim berpolitik yang sehat. Pedagogi politik untuk sebuah ajang pesta demokrasi laiknya pilkada merupakan ruang yang paling berpengaruh dalam membuat sebuah perubahan. Dari Amerika Serikat, demokrasi kita adopsi dan hidupi. Kita menghidupinya karena kita merasa demokrasi adalah salah satu sistem yang memberi kita jawaban yang seimbang atas keinginan kita dalam bernegara. Â Â