Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Papua, Keamanan, dan "Conjuring Approachment"

1 Desember 2020   07:51 Diperbarui: 1 Desember 2020   08:02 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aparat keamanan mengamankan senjata tajam. Foto: sumber Nasional Tempo.co.

Kehadiran Majelis Rakyat Papua (MRP) merupakan salah satu wadah penampung aspirasi masyarakat Papua. Melalui MRP, isu-isu seputar pembangunan, korupsi, diskriminasi, marginalisasi, keamanan, dan kebebasan politik, dikelola  dan disuarakan. Dalam hal ini, kehadiran MRP, semacam menjadi badan penghubung dialog antara rakyat Papua dan Pemerintah RI.

Lalu, bagaimana komunikasi antara pusat dan Papua selama ini? Sepanjang 2002-2020, Jakarta telah menggelontorkan dana Rp 126,99 triliun untuk pembenahan Papua. Dana ini, jika dikalkulasi, hampir setara dengan dua persen Dana Alokasi Umum Nasional. Dana-dana ini kemudian disebarkan ke seluruh wilayah Papua dengan prospek pembangunan dan peryelesaian berbagai persoalan segera teratasi. Dalam hal ini, pemerintah sigap dalam mendekatkan Papua, akan tetapi, sama-sekali tak menyentuh hati warga Papua. Korupsi, kemiskinan, lemahnya pendidikan, dan meningkatnya tindakan kriminal, menunjukkan bahwa dana-dana yang diupayakan tak mampu mendinginkan hati masyarakat Papua.

Apa yang menjadi persoalan sebetulnya? Kenapa konflik selalu saja terjadi di Papua padahal bantuan apapun sudah dikerahkan? Apakah kehadiran TNI di Papua kurang memberi rasa aman? Bukankan pemerintah sudah bekerja keras untuk menenangkan Papua? Berdasarkan catatan Amnesty International, sepanjang Januari 2010-Februari 2018, ada 69 warga Papua yang menjadi korban kekerasan di luar hukum (unlawful killing). Hal ini menunjukkan bahwa dana sebesar apapun tidak mampu "membeli hati" rakyat Papua (Tempo, 11/29/2020).

Dari sini, kita bisa memahami bahwa persoalan utama di Papua adalah soal relasi. Selama ini, model pendekatan yang digunakan oleh aparat cenderung bersifat represif. Kekuatan keamanan justru membuat warga Papua merasa tidak aman dengan lingkungan sekitar. Masyarakat Papua justru dihantui tayangan akrobat militer dan unsur kekerasan. Inilah yang membuat masyarakat Papua semakin garang dan sering melepaskan anak panah.

Apa yang perlu, tentunya soal pendekatan yang lebih menyentuh hati (soft approach). Ruang dialog antara pemerintah dan masyarakat Papua, sejatinya bisa lebih dibuka selebar-lebarnya, agar semua aspirasi dan uneg-uneg bisa didengar, dibahas, dan dicari bersama jalan keluarnya. Boleh saja, pemerintah perlu merangkul MRP yang selama ini dicap sebagai organisasi pemberontak. Upaya merangkul basis rawan pemicu konflik seperti MRP, hemat saya mampu menurunkan tensi konflik berkepanjangan di wilayah Papua.

Kadang, dalam mengupayakan perdamaian, kita kekurangan amunisi. Kadang, kita kekurangan bekal dan strategi. Dan, ketika hal itu terjadi, saat itulah kita perlu rendah hati dan membuka ruang dialog. Tujuannya, agar semua tak hilang karena ambisi masing-masing menyelesaikan sesuatu dengan cara, strategi, dan opini pribadi atau kelompok. Maka, duduk bersama, mendengar, berdalog, berdiskusi, berkomentar, dan berdebat adalah cara-cara terbaik dalam menyelesaikan konflik.

Papua adalah Indonesia. Dengan susah payah, kita merebut Papua dari cengkeraman asing. Ketika Papua berhasil menyatu dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), tugas selanjutnya adalah bagaimana membuat Papua itu sendiri merasa aman dan damai (at home). Persis di sinilah letak titik refleksi kritis kita sebagai warga negara yang menyatu dalam keberagaman. Kekuatan kita sebagai sebuah negara sejatinya terletak pada keberagaman dan keunikan. Cara mempertahankannya, tentunya, tidak lari jauh dari duduk bersama, mendengar, dan menyepakati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun