Partisipasi perpolitikan di dunia maya membuka berbagai kemungkinan dalam proses pengkawalan demokrasi. Demokrasi yang terus dikawal, memiliki visi prospektif, yakni menghadirkan karakter demokrasi yang sesungguhnya -- dari rakyat, oleh rakyat, dan sejatinya untuk kesejahteraan rakyat. Saya melihat bahwa partisipasi politik di cyberspace membantu memperbaiki -- setidaknya ketika merujuk pada kenyataan proses demokrasi yang tengah "tak terarah" -- proses demokrasi.
Sebagai sebuah negara demokrasi, Indonesia tentunya menjadi kajian yang sangat menarik. Dengan peran serta semua lapisan masyarakat yang terhubung dalam cyberspace, ada bebrapa hal yang menjadi poin penting bagi penguatan proses berdemokrasi, khususnya di Indonesia.
Pertama, ruang cyber membuka branda kontrol bagi para pemangku kepentingan rakyat. Kinerja pemerintah dalam hal ini bisa dikawal sebaik mungkin dengan kehadiran media sosial. Eileen Milner dalam tulisannya menyebutnya "electronic goverment" (Eileen Milner, Electronic Government: 1999). Pemerintahan demikian mudah dikontrol dan karakter pemimpin yang diimpikan rakyat dapat terjawab melalui sistem kontrol ini.
Kedua, politik cyberspace membantu proses pengambilan keputusan atau kebijakan tertentu dalam sebuah pemerintahan. Participatory democracy has been seen to be the closest approximation to direct democracy, with its exhortation to involve the public in decision-making processes, (Barry N. Â Hague dan Brian D. Loader, Digital Democracy: 1999).
Segala kebijakan disensor di ruang publik melalui media sosial. Sebagai contoh, ketika DPR mengeluarkan UU MD3 yang sarat muatan kepentingan, publik dengan mudah mengontrol dan melontarkan kritik. Partisipasi politik di cyberspace, dalam hal ini, menjadi penting dalam proses penetapan kebijakan.
Ketiga, politik ruang maya menciptakan pemerintahan yang transparan. Peta politik dalam hal ini tidak lagi bermanuver dengan gaya "top-down", tetapi melibatkan peran serta basis dasar demokrasi, yakni sistem "bottom-up." Dalam hal ini, rakyat tidak lagi hanya menjadi konsumen belaka atau penonton atas berbagai teatrikal kebijakan politik yang dilahirkan pemerintah.
Apa yang tampak di sini adalah soal menguatnya  Voluntarisme Politik. Voluntarisme menjadi salah satu fenomena yang tampak dari demokrasi era milenial. Dari dua edisi Pemilu demokratis sebelumnya, tampak bahwa keberadaan para voluntir politik memberi kekuatan tersendiri dalam membentuk opini publik, kendati mereka bukan partai politik.
Demokrasi yang semakin lunak membuat orang beramai-ramai menjadi relawan. Hal ini berbeda dengan demokrasi pra-reformasi yang mana suara warga lebih banyak dibungkam dan tak dapat bergerak banyak dalam kehidupan berpolitik.Â
Itu artinya, kemunculan para relawan justru bisa keluar dari berbagai kepentingan kemudian secara personal dan komunal berpartisipasi dalam politik. Kerja sama masyarakat yang diwakilkan oleh para pemuda menjadi penopang demokrasi yang tidak hanya baik bagi masa depan politik di Indonesia melainkan juga memberikan perbaikan dalam implementasi good governance.
Para relawan membuat pesta demokratis menjadi lebih lega. Mereka membuat demokrasi menjadi lebih bersih. Salah satu implikasi yang kentara adalah apatisme masyarakat terhadap demokrasi yang semakin menurun.Â
Orang lebih merasa bahwa demokrasi itu miliknya. Ada sense yang lahir dari keprihatinan masyarakat milenial, karena mereka lebih banyak mendapat gerak untuk bersuara pada apa yang dirasakan. Apalagi dengan menggunakan media sosial telah menjadi supporting tools utama yang ampuh mendukung demokrasi, sehingga masyarakat merasa lebih transparan dan jujur dalam menentukan hak politik dengan memilih calon pemimpin yang benar-benar memiliki kinerja.