Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Perempuan di Gang Jogja

1 November 2020   21:09 Diperbarui: 1 November 2020   21:14 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Berpapasan adalah sebuah lingkaran interaksi tak tentu (non-certainty). Dalam koridor berpapas, seseorang kadang disandera tatapan. Maka, unsur utama dalam kelopak interaksi saat berpapasan adalah indera pengelihatan. Kata orang, "Cinta itu berawal dari mata yang menyandera dan disandera, lalu kemudian pelan-pelan diantar ke hati." Kalau salah, tolong dibenarkan!

Suatu ketika di Jl. Setengah Lurus, aku mengalami tuntutan penyanderaan yang dikemas mata-memandang. Sepasang mata lawanku, dimana jari-jari bola hitamnya berukuran bak biji sesawi, menyeka kedalaman rasa "gregetan"-ku seketika. Kedua bola mata itu, rupanya berasal dari sosok makhluk Tuhan bernama manusia. Konon, Mulan Jameela menyebutnya "Makhluk Tuhan Paling sexy."

Saya berusaha mengadopsi gelar itu lalu menempelkan padanya. Ya memang, ia benar-benar manusia, bukan makhluk jadi-jadian. Akan tetapi, ia berjenis kelamin lain. Dadanya menonjol. Ia tak berkumis. Dari mata-memandang kutemukan perbedaan di antara kami berdua. Rupanya, ia berjenis kelamin perempuan. Tatapan makhluk ini menyita waktu. Karena itu, aku harus membuat sebuah pergulatan sengit. Sangat sengit. Antara aku dan perasaanku.

Tentu aku hidup dalam dimensi waktu. Tak terkecuali makhluk "yang lain" itu, yang kujumpai saat waktu mengizinkanku 'tuk sekadar berpapas. Dalam catatan harianku, aku menulis demikian:

"Rupanya banyak pilihan yang tidak menampakkan diri. Mereka bersembunyi, atau disembunyikan oleh waktu. Karena itu, jangan berlama-lama 'tuk berdiam. Dari itu, katakanlah pada waktu, bahwa setiap perjumpaan adalah waktu itu sendiri; di mana dalam ruang perjumpaan, waktu berusaha membatas."

Akhirnya, di Jl. Setengah Lurus, waktu membatasi ruang gerak perjumpaan kami. Aku dan waktu melepasnya pergi tanpa memberi isyarat tertentu, kalau-kalau waktu bakal mempertemukan kami untuk ke-sekian kalinya. Temu di mana dan kapan, belum tahu pasti. Semoga saja, ada kesempatan berikutnya. Pinginnya sama sosok yang sama.

Aku sampai pada berharap. Ya seharusnya begitu. Itu penggalan kisah yang sejatinya perlu dipotret, dikemas, dan dijadikan monumen. Dalam kalender perjumpaan, perbedaan melahirkan banyak makna. Dan, perbedaan itu, lahir ketika waktu beroperasi sebagai pembatas dan tiang penyangga antara kebutuhan dan konsekuensi dari keterpenuhan kebutuhan itu. Ya, itu lah kisah. Tidak perlu terstruktur. Lebih tepat "setengah lurus."

Sampai di sini!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun