Aneh sebetulnya. Bayangkan! Si artis B ngomong gak jelas pas "ngelive" sambil ngemil. Sekejap, warganet pada kerumun. Viewers-nya 3.000. Likers 6.000. Yang komen tembus angka 1000. Gila! Trus yang komen bilang: "Sehat terus ya tete, mbak, mas! Semoga diberkati Gusti Allah!"Â
Beda sama yang ngepost kegiatan donasi. Likers-nya gak nyampe 100, yang komen cuman segitu. Mana isi komennya ngebully semua, nyinyirin, dan kritik. Dibilang sok pamer. Aneh. Ketahuan! Bangsa ini gak doyan kebaikan. Sukanya nularin hal-hal yang gak jelas.
Ada teman saya yang hobby-nya baca komentar netizen di media sosial. Katanya ramai. Kece, kacau, lucu, menghibur, geli, seru, dan saru. Saya menambahkan kata "dan saru," bukan "tapi saru." Soalnya di media sosial, komentar-komentar saru itu udah biasa.Â
Warganet menyebut kelompok ini dengan label "tukang nyinyir." Kerjaannya cuman itu-itu aja. Nyinyir, bacot, saling nerkam. Kalo gak nyinyir kayak absen. Merasa tiada. Motto mereka adalah "Saya nyinyir, maka saya ada!" Gonggongan tukang nyinyir ini, biasanya asyik di dibaca. Komentar-komentarnya beraneka ragam.
Tukang nyinyir biasanya lahir dan dibesarkan dari sebuah konten provokatif dan hoax. Jika kita berselancar di layar ponsel atau laptop sekarang, kita akan menemukan beberapa orang yang getol membagikan tautan provokatif.Â
Katakanlah soal bansos yang tidak tepat sasaran, bansos yang ditempelkan stiker srikandi, pembagian sembako bagi mereka yang sudah meninggal, tarik ulur kebijakan longgar-ketat soal penanganan virus korona, dan lain-lain. Masih banyak. Beragam. Semuanya diobral di media sosial. Siapa saja boleh liat, boleh meraba-raba dengan imajinasi, dan dipersilahkan memberi komentar.
Yang lagi viral sekarang adalah soal pamer bojo. Eh bukan! Maksud saya, pamer bantuan. Ada orang yang ngasi bantuan sambil nge-live. "Ya sekarang, kami bersama keluarga Bapak A yang mengalami dampak langsung pandemi Covid-19. Kami menyumbangkan sembako ini, semoga bermanfaat buat Bapak sekeluarga" kata si pemilik akun.Â
Tidak apa-apa. Perbuatan baik harus diviralkan, perlu diketahui publik, dan layak dimonumenkan. Saya secara pribadi mengapresiasi tindakan "ngepost" perbuatan baik. Tapi, di balik itu, saya risih jika tindakan "nge-live" atau post foto-foto kegiatan donasi itu menjadi upaya eksploitasi orang miskin.
Di Indonesia, kebiasaan pamer kebaikan kadang kurang mendapat thumbs up. Padahal ini kampanye untuk kebaikan bersama. Ada orang yang memang gemar memergoki dan mengkritisi perilaku seseorang di media sosial.Â
Pengamat gaya hidup, Lynda Ibrahim menyebut mereka ini sebagai penggonggong. Selain disebut penggonggong, mereka juga disebut kaum rebahan. Habis kerjaannya nyinyirin orang sambil rebahan. Enak rebahan sambil komen trus "ngelus-ngelus" darah militer warganet. Biar gerah. Asyik, ramai, menghibur.
Saya kadang merasa kasian dengan orang-orang yang pamer kebaikan. Jika diinvetaris, energi mereka lebih besar dikeluarkan ketimbang tukang gonggong yang kerjanya nyinyir sambil rebahan.Â