Banyak ahli bahasa yang memprediksi bahwa bahasa Lampung akan punah dalam waktu 60–70 tahun dari sekarang. Kebijakan transmigrasi yang diberlakukan pada zaman pemerintahan Presiden Soeharto sudah mengubah wajah Lampung secara umum.
Lampung tidak lagi didominasi oleh masyarakat bersuku Lampung, justru pendatang. Hal ini turut berpengaruh pada pergeseran pilihan bahasa di masyarakat, di mana bahasa Lampung pada akhirnya tidak lagi menjadi pilihan.
BERDASARKAN hasil studi yang dilakukan oleh Kantor Bahasa Provinsi Lampung dalam buku Persebaran Bahasa-Bahasa di Provinsi Lampung (2008: 1-2), sebaran penduduk di provinsi ini juga tidak lagi didominasi oleh suku Lampung. Masyarakat bersuku Jawa mendominasi dengan 61,88% (4.113.731 jiwa), Lampung 11,92% (729.312 jiwa), Sunda 11,27% (749.556 jiwa), serta suku-suku lainnya seperti Bengkulu, Batak, Minang, dan Bugis 11,35% (754.989 jiwa). Masyarakat pendatang tersebut hidup berkelompok dalam komunitasnya dengan budaya dan bahasanya, sehingga yang terjadi bahasa Lampung saat ini terpojok. Mengingat, persentase penduduk yang bisa terkategorikan sebagai minoritas di tanahnya sendiri.
Alih-alih mengupayakan pelestarian bahasa Lampung, masyarakat kini justru juga berpikir praktis. Penduduk yang bersuku Lampung merasa lebih nyaman menggunakan bahasa Indonesia ketika berkomunikasi dengan pendatang dengan alasan menghormati para pendatang tersebut. Bahasa Lampung hanya digunakan untuk berkomunikasi di lingkungan keluarga, sesama suku, dan upacara adat.
Dalam penelitiannya, pergeseran bahasa daerah di Kota Bandarlampung yang dipublikasikan di Jurnal Kelasa (2009: 39), Hartati Hasan mengatakan bahwa sudah ada pergeseran pilihan bahasa dalam masyarakat di kota ini. Masyarakat menggunakan bahasa daerah hanya sebagai bahasa rumah dan menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa komunikasi di luar rumah. Di rumah pun, bahasa daerah itu hanya digunakan oleh orang tua. Ketika mereka berbicara kepada anak, bahasa Indonesia akan lebih dipilih untuk digunakan. Akibatnya, anak tidak bisa lagi berbicara dalam bahasa daerah. Ini tentunya menjadi lampu kuning untuk kelestarian bahasa daerah itu sendiri.
Masyarakat kini berpikir memang tidak ada lagi tuntutan penguasaan dan penggunaan bahasa Lampung. Mereka kemudian jadi tidak merasa perlu untuk mempelajarinya lagi. Anak-anak mereka lebih dipaksa untuk mempelajari bahasa asing, terutama bahasa Inggris dan Mandarin, daripada bahasa daerah mereka sendiri. Contohnya apabila mendaftar pekerjaan, tidak akan pernah ada perusahaan yang mempersyaratkan kemampuan berbahasa daerah, yang ada adalah bisa berbahasa asing.
Pemerintah, dalam hal ini Kemendiknas, juga terlihat sama saja. Melihat tantangan global yang memang sudah tidak terelakkan, institusi pendidikan yang sudah memenuhi standar sekolah nasional diinternasionalisasikan menjadi sekolah berstandar internasional (SBI). Bahasa Inggris kemudian digunakan sebagai bahasa pengantar, meski secara tidak langsung melanggar UUD 1945 Pasal 36 tentang Bahasa Nasional.
Pemerintah berharap dengan kemampuan berbahasa asing yang lebih baik, lulusan dari SBI juga akan lebih baik. Padahal, idealnya apabila akar permasalahannya merupakan kualitas kurikulum dan kemampuan bahasa, yang seharusnya ditingkatkan adalah kurikulumnya dan kualitas guru bahasa Inggrisnya. Dengan begitu, bahasa Indonesia tidak harus bergeser fungsi dari yang seharusnya diperankannya. Selain itu, juga pemerataan kualitas akan terlihat lebih memanusiakan pendidikan daripada menciptakan kasta serta kesenjangan sosial antara yang mampu dan tidak membayar biaya pendidikan mahal di SBI.
Kondisi ini menyiratkan bahasa Indonesia sendiri juga sudah terjajah oleh bahasa Inggris. Masyarakat sudah mulai berpikir kemampuan berbahasa Inggris mempunyai gengsi tersendiri. Dalam banyak kesempatan, para pejabat juga sering memakai istilah dalam bahasa Inggris daripada tetap mengatakannya dalam bahasa Indonesia. Pemberian nama toko, slogan, dan acara resmi dari mulai sekolah, kampus, hingga pemerintah banyak yang menggunakan bahasa Inggris. Ini kemudian turut memperparah posisi bahasa Indonesia. Apalagi bahasa Lampung.
Ketidakcerdasan berbahasa ini sering disoroti oleh banyak ahli bahasa yang menganggap masyarakat terlalu membabi buta dalam penggunaan bahasa asing (Inggris). Masyarakat belum bisa menempatkan kapan seharusnya menggunakan bahasa Indonesia dan kapan seharusnya berbahasa asing. Menurut Drs. Agus Sri Danardana, M.Hum., mantan Kepala Kantor Bahasa Provinsi Lampung, dalam tulisannya Fobia Bahasa Indonesia di buku Laras Bahasa (2008: 1), masyarakat tidak bisa berkaca pada apa yang sudah dilakukan oleh Jepang, Prancis, Jerman, Tiongkok, Italia, dan Belanda. Mereka tetap bangga dengan bahasanya masing-masing. Sehingga, apabila ada seseorang yang berencana berkunjung atau studi di negara-negara tersebut, terpaksa tetap harus belajar bahasanya. Sebab, petunjuk di jalan, bahasa pengantar, dan bahasa dalam buku-bukunya masih banyak yang dalam bahasa mereka.
Ide ini sebenarnya bisa diadaptasi dengan mengharuskan semua institusi pemerintah dan pendidikan menggunakan istilah bahasa Lampung di bawah bahasa Indonesia dalam setiap papan nama, papan petunjuk, spanduk, dan papan iklan yang mereka pasang. Hal ini sudah dilakukan saat ada kebijakan pemberian nama ’’pekon’’ dan tidak ’’desa’’ lagi. Beberapa institusi pendidikan pun tampak menuliskan aksara Lampung di bawah nama sekolah di papan nama sekolah mereka. Tetapi, kebijakan ini seperti masih setengah hati. Faktanya, masih banyak yang justru menginggriskan nama dan moto sekolah atau institusi mereka. dan, bukannya justru melampungkannya sebagai bentuk kepedulian terhadap pelestarian bahasa Lampung.