Pihak media sebenarnya juga bisa digandeng untuk tujuan ini. Gubernur Lampung bekerja sama dengan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Lampung, sebenarnya, sudah menginisiasi hal ini dan patut diacungi jempol. Disdik provinsi membuat majalah tentang pendidikan, budaya, dan Pemprov Lampung dalam dua bahasa, Indonesia dan Lampung, yang didistribusikan ke setiap sekolah di provinsi ini. Harapannya tentu majalah ini dibaca siswa agar mereka bisa lebih mengapresiasi bahasa Lampung. Apabila pihak media, baik televisi maupun cetak, diwajibkan memiliki konten berbahasa Lampung setidaknya 30 persen per harinya, masyarakat tidak akan memiliki pilihan lagi selain terpaksa membaca tulisan berbahasa Lampung. Dan, ini tentu menjadi satu langkah maju untuk pelestarian bahasa Lampung.
Hal lain yang bisa dilakukan adalah proses edukasi di institusi pendidikan. Selama ini bahasa Lampung diajarkan di SD dan SMP. Tetapi, hasilnya memang belum maksimal. Dalam banyak kesempatan, Drs. Agus Sri Danardana, M.Hum. mengatakan, pengajaran bahasa Lampung terjebak dalam pembelajaran aksara. Siswa mahir membaca dan menulis dalam aksara Lampung. Tetapi, tidak mampu menggunakannya untuk komunikasi. Setelah siswa lulus dari SD dan SMP, mereka juga bisa dipastikan lupa lagi aksara-aksara tersebut. Apalagi bahasanya. Sebab, memang tidak pernah dipakai secara aktif untuk berkomunikasi baik lisan maupun tulisan di masyarakat.
Beberapa tahun terakhir ini, Program Studi Diploma III Bahasa Lampung di FKIP Universitas Lampung sangat disayangkan juga sudah tidak terlihat lagi. Apabila masih ada, tentunya, lulusannya bisa diharapkan memperjuangkan pelestarian bahasa asli daerah Provinsi Lampung melalui proses belajar-mengajar di sekolah. Sebab, memang tidak ada guru yang berlatar belakang pendidikan pengajaran bahasa Lampung. Sekolah-sekolah pun kemudian memberdayakan guru-guru yang bersuku Lampung untuk mengajar muatan lokal bahasa Lampung. Bisa ditebak, dengan tidak mempunyai pengetahuan tentang pengajaran bahasa, hasilnya pun jadi tak maksimal. Sama halnya seperti meminta seorang guru matematika untuk mengajar fisika. Tentu, itu tetap dua hal yang berbeda.
Semua hal ini tentunya menjadi renungan kita bersama sebagai masyarakat Lampung. Saatnya semua elemen masyarakat duduk dan membahas solusi permasalahan ini dengan lebih serius. Bahasa Lampung kini berada dalam kondisi sangat mengkhawatirkan. Apabila pemerintah dan masyarakat sama-sama tidak lagi peduli, kepunahan bahasa Lampung sebuah keniscayaan. Meski sebagai pendatang, kita tetap harus mempunyai tanggung jawab atas kelestarian bahasa dan budaya Lampung. Punahnya bahasa adalah tanda dari kepunahan budaya. Dengan punahnya bahasa dan budaya, punah juga komunitas yang menaunginya. Pertanyaannya apakah kita kemudian hanya akan melihat dan merelakan suku Lampung dengan budaya serta bahasanya punah dan setelah itu cuma bisa ditemukan dalam buku sejarah? Jawaban tersebut ada dalam hati nurani kita. (*)
http://radarlampung.co.id/read/opini/42903-menyambut-kepunahan-bahasa-lampung-ironi-bulan-bahasa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H