Akhir-akhir ini, bila diperhatikan, Indonesia kita yang dikenal sebagai bangsa yang ramah senyumnya, seperti berganti pribadi.
Sebuah channel berita luar negeri-Indonesia mengabarkan, Indonesia dengan netizen tak beradab sebab menduduki peringkat 29 dari 30-an negara dalam etika berkomentar dunia maya.
Seorang lelaki tega menghancurkan masa depan putri kecil kandungnya sendiri. Ia memang dibalik jeruji. Namun putrinya seperti telah kehilangan wajah berseri. Mungkin, ia akan hidup dalam trauma entah sampai kapan. Tidur ketakutan. Semoga ia melupakan trauma keji dan menjadi pribadi berani ketika dewasa nanti.
Enam pemuda, tewas dengan masing-masing peluru di dada dan melepuh selangkangan tanda perlakuan tak dibenarkan. Tak cukup sampai di situ, bahkan merekalah yang menjadi tersangka.
Ketika musyawarah dalam suatu anggaran dasar rumah tangga suatu kelompok politik berganti menjadi mengganti pimpinan baru tanpa seni bermufakat. Tak ada lagi duduk saling tukar pendapat.
Udang dikorupsi, kitab suci dikorupsi, KTP dikorupsi, pajak disuap lolos seleksi, kenalan jadi jalan gratifikasi.
Jika bicara perilaku seseorang yang mengaku berbangsa Indonesia, Â mestinya kita bertanya guru pendidikan kewarganegaraan.
Jawabannya biasanya, menjadi bangsa yang baik, tercermin dengan rasa cinta tanah air atau rasa nasionalisme. Sikap ini dibuktikan dengan menjaga nama baik negeri sedapat mungkin. Dapat dengan mengukir prestasi di kancah internasional, ataupun bertindak tanpa pamrih membangun atau menjaga warisan negeri. Begitu juga dengan menebar pengaruh baik di manapun ia berada.
Sikap berbangsa dicerminkan dengan melindungi negerinya dari ancaman, baik dari luar ataupun dari dalamnya. Maka, jika seseorang mencintai negerinya, ia tidak akan mudah diadu domba, mudah terhasut ataupun menyikapi perbedaan dengan kebencian.
Fenomena kecebong yang dirujuk pada pro pemerintah fanatis atau kadal gurun (kadrun) kepada agamais yang mengkritisi pemerintah, sungguh menggelikan.
Ketika memang cinta Indonesia, mestinya kubu penilaian jalannya pemerintahan ini menjadi nilai penguat untuk penyemangat dan pengingat, bukannya malah menjadikan gelar netizen tak beradab, lupa santun dalam media sosial.