Sebagian besar masyarakat Indonesia mungkin belum memahami istilah stunting. Padahal stunting ini merupakan ancaman besar, yang dapat mempengaruhi kualitas SDM bangsa Indonesia. Hal ini bisa terjadi dikarenakan anak stunted yang mengalami kondisi stunting, mereka bukan hanya terganggu dalam faktor pertumbuhan fisiknya saja, anak yang stunted juga mengalami gangguan perkembangan otak, yang dimana sangat mempengaruhi kemampuan dan prestasinya di sekolah, yang seharusnya diusianya mereka mampu lebih produktif dan kreatif.
Tapi apa sebenarnya stunting itu?
Stunting adalah masalah kekurangan asupan gizi, terserang infeksi, maupun rangsangan stimulasi yang kurang memadai, sehingga mengakibatkan gangguan pertumbuhan pada anak yakni tinggi badan anak lebih rendah atau pendek (kerdil) dari standar usianya. Kondisi tubuh anak yang pendek seringkali dikatakan sebagai faktor keturunan (genetik) dari kedua orang tuanya, namun masyarakat banyak yang hanya menerima tanpa berbuat apa-apa untuk mencegahnya, bahkan berusaha untuk memperbaiki asupan gizi, pola asuh dan kesehatan anaknya sendiri. Di wilayah Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Barat. Tercatat ada 123 anak yang terindikasi stunting. Kebanyakan di bawah usia 5 tahun.
Mengapa hal tersebut bisa diabaikan begitu saja. Padahal asupan gizi, pola asuh dan pola hidup yang sehat sangat penting. Sebenarnya jawabannya sederhana yaitu masalah ekonomi, sosial, budaya, dan kurangnya pemberdayaan perempuan. Padahal anak-anak yang menderita stunting kemungkinan besar tidak dapat mengikuti proses belajar-mengajar di sekolah dengan lancar. Jika pun akhirnya bersekolah, maka mereka telat mendaftar sehingga usianya sudah lebih tua. Mereka juga umumnya mendapat nilai pelajaran yang rendah serta memiliki kemampuan kognitif yang buruk dibanding anak-anak yang tidak stunting. Anak-anak penderita stunting juga lebih apatis dan menunjukkan perilaku yang kurang eksploratif. Menurut sebuah penelitian anak-anak penderita stunting memiliki tingkat kecemasan dan depresi lebih tinggi, serta kepercayaan diri yang lebih rendah dibanding anak-anak yang tidak stunting pada usia 17 tahun.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) dan hasil SSGBI (Studi Status Gizi Balita di Indonesia) di tahun 2020 angka prevalensi stunting di Indonesia adalah 26,92%, kemudian di tahun selanjutnya di tahun 2021 prevalensi stunting di Indonesia turun dari 24,4%, dan pada tahun 2022 kemarin angka stunting menurun menjadi 21,6%. Pemerintah sedang berupaya ekstra dalam menurunkan angka stunting di Indonesia, karena standar WHO terkait prevalensi stunting harus kurang dari 20%.
Bagaimana sebuah negara mau berkembang bila 1/4 generasinya mengalami stunting, jika di tahun 2023 angka stuntingnya malah naik akan sangat berbahaya bagi bangsa Indonesia, kenapa demikian sudah jelas jika 25% saja generasinya mengalami stunting maka jika kelak mereka berusia dewasa dan menikah mereka akan membawa gen stunting, keturunan mereka akan mengalami stunting juga dan tidak menutup kemungkinan akan memperbanyak angka stunting di Indonesia kelak.
Ketika masih saja banyak anak muda yang melakukan pernikahan diusia di bawah 20 tahun Indonesia tidak akan terbebas dari stunting, ini belum menyentuh masalah ekonomi atau kemiskinan. Ketika sudah membahas ekonomi akan panjang urusannya banyak yang akan dikorbankan ketika ekonomi sebuah rumah tangga belum siap, misalnya saja keluarga yang terlahir di keluarga yang pas-pasan, susah mendapatkan Pendidikan yang layak karena biayanya terlalu mahal, tidak mendapat bantuan dari pemerintah dikarenakan mereka dianggap cukup, sulitnya mengakses bantuan pelayanan kesehatan. Justru yang lebih berpotensi terkena stunting adalah keluarga yang pas pas an, di karenakan yang miskin bisa mengakses bantuan seperti beasiswa, layanan kesehatan dan bantuan lain. Kelompok yang sederhana atau pas-pasan tidak bisa mendapatkan itu karena di lingkungan dianggap cukup.
Problematika seperti ini yang seharusnya juga diantisipasi oleh pemerintah, pemerintah harusnya lebih menyeluruh dan teliti lagi dalam melakukan pendataan, kalau pendataannya saja salah, bagaimana stuntingnya bisa diatasi. Maka dari itu peran dalam menekan angka stunting itu tidak hanya dari orang tua, lingkungan dan juga ekonomi saja. Peran penting pemerintah dalam mensosialisasikan stunting, upaya pemberian vitamin atau bantuan lain untuk mengatasi masalah gizi, edukasi tentang dampak buruk pernikahan dini, dan sosialisasi cara mengasuh anak yang baik sehingga terputus rantai atau ikatan stunting.
Menurut Dr. (HC) dr. Hasto Wardoyo, Sp.OG pencegahan bayi normal agar tidak menjadi stunting dengan pemberian ASI baik, kemudian asupan makanan sang ibu juga diperbaiki gizinya sehingga bayi mendapatkan gizi yang baik untuk pertumbuhannya, kemud ygian mempersiapkan kesehatan yang prima sebelum melangkah ke jenjang pernikahan, lalu beliau mengkritik kebiasaan masyarakat yang memilih mengeluarkan biaya hingga puluhan juta untuk sekadar melakukan prewedding, tapi tidak memikirkan hal yang lebih mendesak yakni prakonsepsi.
Banyak orang yang mengabaikan prakonsepsi bahkan ada yang tidak tau prakonsepsi. Padahal prakonsepsi itu sangat murah tapi pemerintah jarang melakukan pensosialiasiannya kepada para calon ibu, padahal calon ibu hanya perlu minum asam folat, periksa hb (hemoglobin), minum tablet tambah darah gratis kalau di Puskesmas, sementara suami hanya perlu minum zinc supaya spermanya bagus. Pemerintah melakukan pendampingan, pendampingan ini dilakukan kepada keluarga dan calon pasangan usia subur sebelum proses kehamilan. Dengan, mendorong calon pengantin agar mau melakukan pemeriksaan sebelum menikah dan hamil.
Ketika hilirnya sudah dibenahi kemudian dilanjutkan dengan pengupayaan perbaikan terhadap pola makan (gizi), edukasi tentang gizi ini diperlukan agar dapat mengubah perilaku yang mengarah pada peningkatan kesehatan gizi untuk ibu dan anak agar calon ibu memiliki pengetahuan terhadap makanan dari segi jumlah dan kualitas gizi yang baik bagi ibu dan anak. Perbaikan pola asuh, dimulai dari edukasi tentang kesehatan reproduksi dan gizi bagi remaja sebagai cikal bakal keluarga agar para calon ibu memahami pentingnya pemenuhan kebutuhan gizi saat hamil dan stimulasi bagi janin ketika dia sudah siap menikah nanti. Rendahnya akses terhadap pelayanan kesehatan, termasuk di dalamnya adalah akses sanitasi dan air bersih, mendekatkan anak pada risiko ancaman penyakit infeksi. Untuk itu, perlu membiasakan cuci tangan pakai sabun dan air mengalir, serta tidak buang air besar sembarangan.