[caption id="attachment_390567" align="aligncenter" width="300" caption="Mengabadikan momen matahari terbenam"][/caption]
Beberapa tahun belakangan ini Gunung Kidul menjadi destinasi favorit di Yogyakarta. Pantai-pantai berpasir putih, sungai-sungai bawah tanah, air terjun, serta goa-goa bawah tanah menjadi pilihan menarik yang sulit untuk dilewatkan. Pondok-pondok wisata, fasilitas kamar mandi, kios cinderamata, serta fasilitas penginapan pun dibangun untuk memenuhi kebutuhan wisatawan. Tiba-tiba sektor pariwisata menjadi peluang yang menjanjikan sebagai sumber penghasilan.
Dua ekskavator terlihat sedang dioperasikan untuk meratakan sebuah bukit dengan puncak membulat. Mungkin seperempat tubuh bukit sudah berhasil diratakan, menyisakan daging putih batugamping. Saya tak tahu apakah ini bagian dari penambangan atau sebuah kesengajaan untuk meratakan bukit guna alih fungsi lahan. Yang pasti satu bukit di Gunung Kidul yang masuk ke dalam kawasan karst Gunung Sewu akan hilang tak lama lagi.
Ya, kehilangan satu bukit di bulan ini tak lantas menjadikan kawasan Gunung Sewu berganti nama. Pada 1968, seorang ahli berpendapat bahwa terdapat setidaknya 40.000 bukit kerucut di kawasan ini. Oleh sebab itu, nama yang disandangnya, pegunungan seribu atau gunung sewu pun mencerminkan bentangalamnya. Mungkin saat ini jumlah itu sedikit berkurang. Namun, tak tahu juga berapa bukit yang akan lenyap di tahun-tahun mendatang.
Perjalanan menuju Pantai Sadranan di pesisir Gunung Kidul, yang termasuk dalam kawasan karst Gunung Sewu, kali ini membuat saya sedikit merenung tentang pariwisata. Pasalnya apa yang saya lihat sekarang dengan tiga tahun yang lalu agak berbeda. Ada banyak aroma anyar di sepanjang perjalanan.
Hotel Orchid Inn menyembul di tepi jalan di antara hutan jati, lahan-lahan ladang & kebun yang dilengkapi dengan papan bertuliskan “Tanah Ini Dijual”, serta resort atau villa-villa di atas bukit yang dari jauh memberikan akses putih “bersih”. Pertanda-pertanda itu biasanya dijumpai di kawasan yang mulai ramai dikunjungi wisatawan. Mesin pariwisata Gunung Kidul benar-benar sudah bekerja!
[caption id="attachment_390557" align="aligncenter" width="640" caption="Beberapa pantai dijadikan tempat pendaratan oleh nelayan"]
Pak Jarwo, pemilik warung dan kamar mandi tak jauh dari tempat kami berkemah menceritakan bahwa pemilik villa di bukit sisi timur Pantai Sadranan itu termasuk tokoh yang membuka kawasan ini. pada 2001, Sadranan lebih dikenal sebagai area untuk off road. Baru sekitar empat tahun belakangan ini populer sebagai tempat snorkeling.
Pak Jarwo sempat ditawari untuk bekerja di sana. Namun, tawaran itu ia tolak. Ia berpikir bahwa paling mentok jabatannya hanya pekerja kasar yang lambat laun akan dipecat. Ia memilih untuk membuka warung dan fasilitas kamar mandi tak jauh dari bibir pantai.
Sebuah pemikiran yang hampir mirip dengan apa yang direkam oleh Paul Salopek di Dubti, Etiopia. Seorang perempuan muda bernama Dahara bercerita tentang sebuah perusahaan perkebunan yang melakukan pengusiran terhadap warga lokal meskipun kemudian memberikan pekerjaan. Posisi yang ditawarkan selalu yang rendahan. Penjaga atau tukang sekop. Tidak di Sadranan, tidak di Etiopia, yang terjadi tak banyak berbeda. Siapa yang memiliki modal dialah yang berkuasa.
Biasanya warga lokal selalu disebut dalam tiap pengembangan kawasan wisata. Nantinya mereka akan turut mencicipi kue pariwisata. Namun, porsinya disesuaikan dengan kebaikan hati si pemilik modal.