Dalam bentukan pola pikir sebagian besar masyarakat kita, lulusan cumlaude selalu (iya, selalu) diidentikkan dengan otak cemerlang, prestasi akademik gemilang, transkrip nilai yang merdeka dari bayang-bayang huruf C, serta tentu saja, prospek kerja yang konon wah. Mungkin hal itu benar adanya, meski tentu saja, tidak seluruhnya.
Saya pun sebetulnya lumayan keblinger dengan dalil yang entah bagaimana tiba-tiba merumuskan bahwa mereka yang ber-IPK tinggi akan gampang mendapat pekerjaan—seperti yang sering disitir khalayak ramai. Yang kedua, kenapa setiap kita diwisuda, selalu saja ada oknum yang memberi ucapan khas selamat wisuda lengkap dengan embel-embelnya, “Selamat ya, dan selamat datang di kehidupan yang sesungguhnya."
Maksudnya gimana, sih? Jadi selama ini kita hidup dalam angan-angan? Sembarangan! Sudahlah... Ini tentang dunia kerja pascawisuda, to? Kalian sebenernya ingin memberi tahu kengerian sindrom pascawisuda, kan? Bahwa nyari kerja itu susahnya setengah urip, gitu to? Lho, nggak usah repot-repot, Mas, Mbak, saya nggak butuh dibegitukan.
Karena lulus dengan gelar sarjana pendidikan, mungkin menurut sebagian orang, seharusnya saat ini saya tengah sibuk menyiapkan bahan ajar atau soal-soal ulangan untuk diujikan kepada anak didik di sekolah. Itu mungkin dan seharusnya lho ya, karena pada kenyataannya, alih-alih memanfaatkan ijazah untuk mempromosikan diri di depan calon mertua, saya justru lebih memilih menikmati masa-masa indah ini dengan ngadem dan mencari perlindungan di rumah. Home sweet home. Lebih jelasnya lagi, NGANGGUR!
Gara-gara nganggur, sentilan dari tetangga dan teman-teman seperjuangan berwujud ucapan satire sejenis “Tuh kan, IPK tinggi nggak menjamin gampang dapat kerja,” “Lho, kamu kan cumlaude?” dan tentu saja, “Itu ijazahnya sampai kapan mau dikekepi terus?” senantiasa hadir silih berganti dalam kehidupan saya.
Tentu saja mereka mengeluarkan nyinyiran tak berperikesarjanaan ini dengan dada sedikit busung karena merasa sudah bebas dari celaan nista “sarjana tapi nganggur.” Kalau sudah begini, banter-banternya saya cuma bisa senyum getir seraya mbatin, “Terus kalau nganggur, memang kenapa?”
Eh, itu belum seberapa, mungkin karena saking terlihat mengenaskannya di mata mereka, saya bahkan sering direkomendasikan buat melamar kerja di instansi ini, numpuk lamaran di kantor itu, ngajar di sekolah X. Bahkan di antara mereka ada yang sedikit memaksa, tentu saja dengan niat mahamulia memberantas angka pengangguran dan kemiskinan di republik ini. Pokoke lengkap. Duh, pada perhatian bener ya. Makasih deh…
[caption caption="Credit Image: usq.dot.edu"][/caption]
Tapi seharusnya mereka, atau siapa saja yang kebetulan membaca tulisan ini, nggak perlulah repot-repot ngurusi saya (aku wis kurus, Sodara-sodara!) Toh, bapak ibu juga selow-selow saja menyaksikan anak gadis satu-satunya ini tiap hari kerjaannya cuma makan dan tidur. Dan yang paling penting, beliau sekalipun nggak pernah protes, apalagi nyuruh-nyuruh buat cari kerja. “Terserah mau jadi apa, kamu yang menjalani,” begitu kata bapak yang merasa sudah lunas kewajibannya menyekolahkan saya sampai bangku universitas.
Kembali ke perkara cumlaude itu tadi. Sepertinya kita ini sudah kadung termakan stigma yang mendengung-dengungkan kalau cumlaude itu mustahil sulit dapat kerja, nganggur itu haram jadah hukumnya bagi mereka yang ber-IPK tinggi. Malu ah, sama yang kapasitas otaknya biasa saja. Halahh, itu pikiran yang—maaf-maaf saja—sungguh sangat konservatif, kuno, dan nggak kekiri-kirian, eh, kekinian.
Sejatinya, menyandang predikat cumlaude itu bukan tentang pekerjaan mentereng apa yang bakal kita lakoni kelak setelah lulus. Seperti bungkusan kondom yang diterima saat membeli cokelat di bulan Februari, cumlaude itu cuma bonus. Hadiah. Perkara kita nganggur atau bekerja setelah wisuda nanti, ndak perlulah disangkutpautkan bin dijodoh-jodohkan sama IPK, apalagi dituduh berkhianat pada syair keramat Gaudeamus Igitur. Ngeri!