Berikut bagian kedua dari nota keberatan Reinhard Nainggolan terhadap dewan pers. (klik untuk lihat bagian pertama)
2.DEWAN PERS MELANGGAR FILOSOFINYA SENDIRI
Filosofi utama wartawan dalam menjalankan fungsi jurnalistiknya adalah melakukan klarifikasi secara memadai dan menghormati prinsip cover both side. Wartawan yang melanggar prinsip ini telah menciderai profesi mulia wartawan. Lalu bagaimana bila anggota DEWAN PERS (dewanya para wartawan yang dianggap tahu dan seharusnya tidak boleh salah) tiba-tiba menabrak dan melanggar prinsip ini dengan mempublikasikan “CURHAT” HENNY LESTARY tanpa klarifikasi dan konfirmasi terlebih dahulu. Apakah sejumlah Anggota DEWAN PERS yang jelas-jelas melanggar Kode Etik Jurnalistik dalam kasus ini telah diberikan sanksi tegas oleh DEWAN PERS?
Bahkan WINA ARMADA (Anggota DEWAN PERS), mengeluarkan pernyataan bahwa sejumlah wartawan meminta jatah saham PT KS sebanyak 1.500 lot dan meminta uang Rp 400 juta. WINA ARMADA bahkan mengatakan tindakan wartawan ini telah merusak prinsip penegakkan kebebasan PERS sebagaimana dikutip dan diberitakan tempointeraktif 17/11/2009 dengan judul “Wartawan Diduga Minta Jatah Saham Krakatau Steel”.
Kepada media, WINA ARMADA menyampaikan bahwa dugaan pemerasan dilakukan oleh 30 wartawan yang umumnya bertugas dan meliput di Bursa Efek Indonesia. Mereka dipimpin empat wartawan media besar untuk melobi sejumlah pihak guna memperoleh jatah saham IPO PT Krakatau Steel Tbk, sebagaimana diberitakan tempointeraktif, 18/11/2010 dengan judul “Dewan Pers Kantongi Nama Wartawan Pemeras Saham Krakatau Steel” dan “Empat Wartawan Mengatasnamakan 30 Wartawan, berita Vivanews.com, 18/11/2010.
Anggota DEWAN PERS lainnya, AGUS SUDIBYO, juga membuat pernyataan yang dipublikasikan tanpa klarifikasi yang memadai. Pernyataannya juga berubah-ubah dan tidak dapat dipertangungjawabkan kebenarannya, antara lain “Ada sejumlah wartawan yang meminta hak istimewa untuk membeli tanpa melalui proses. Jadi bukan minta saham, tapi minta hak istimewa.”. AGUS SUDIBYO menegaskan bahwa laporan pengaduan yang diterima DEWAN PERS tidak menyebutkan adanya permintaan jatah saham IPO PT Krakatau Steel TBk melainkan permintaan membeli saham dengan menggunakan hak istimewa agar tidak melalui mekanisme normal yang terlalu panjang dan rumit.
Pertanyaannya, apakah anggota DEWAN PERS yang jelas-jelas melangar kode etik (membuat pernyataan hanya dari laporan lisan dan tanpa klarifikasi) dalam kasus ini telah diberikan sanksi tegas oleh DEWAN PERS?
Selain dituding meminta hak istimewa, ada juga kasus kedua yang dituduhkan, yakni oknum wartawan yang meminta dana dari manajemen PT Krakatau Steel Tbk untuk meredam pemberitaan penjualan saham perdana, seperti diberitakan Vivanews pada 19/11/2010 dengan judul “Ada yang Meminta Rp 400 juta agar Pemberitaan KS Mereda”.
Faktanya, SAYA tidak pernah melakukan komunikasi dalam bentuk apapun, baik kepada Menteri Negara BUMN, direksi PT Krakatau Steel Tbk, pihak penjamin emisi, maupun HENNY LESTARI untuk meminta uang senilai Rp 400 juta. Belakangan, WINA ARMADA dan AGUS SUDIBYO meralat bahwa yang meminta Rp 400 juta bukan wartawan, namun mereka tidak menarik pernyataan yang sudah terlanjur diberitakan dan merusak nama baik sekaligus membunuh karakter dan profesi wartawan yang disebut “PEMERAS”.
Tudingan mengenai permintaan uang sebesar Rp 400 juta itu, seharusnya diadukan kepada yang berwajib (kepolisian atau KPK), bukan kepada DEWAN PERS yang fungsinya adalah menerima pengaduan masyarakat menyangkut pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik atau kasus-kasus pemberitaan pers lainnya (Peraturan DEWAN PERS Nomor 01/Peraturan-DP/I/2008 tentang Prosedur Pengaduan ke Dewan Pers, pasal 1 ayat 1).