Bahagia, satu kata yang disakralkan oleh semua orang. Segala cara dilakukan agar bisa menyenangkan diri, seperti shopping, bermain, jalan-jalan, melakukan hobi dan sebagainya. Bahkan ada juga yangmemaksakan untuk selalu merasa baik atau merasa menyenangkan. Untuk selalu berfikir positif. Itu juga memang tidak apa-apa, hak masing-masing, yang tidak bisa diganggu gugat.Â
Bahkan sekali pun itu meminggirkan perasaan sedih, semua orang akan berlomba-lomba untuk merasa bahagia, merasa bahagia adalah yang paling baik karena membuat gairah hidup semakin meningkat. Berpura-pura bahagia bisa dilakukan oleh semua orang, tapi berpura-pura sedih semua orang tentu tidak mau melakukannya.Â
Dikutip dari BBC News Indonesia, Derren Brown, Â penulis buku Happy membahas filosofi dan psikologi kebahagiaan, ia berkata: "Lebih baik kita berdamai dengan fakta bahwa itulah dinamika kehidupan---alih-alih menciptakan gagasan palsu bahwa kita bisa mengendalikan segalanya untuk mencapai tujuan kita,"Â
Ibaratnya begini, saya sedang berjalan di taman pinggiran kota, dengan mengenakan sandal jepit. Ya biar nyaman saja, karena keringat tidak terperangkap dalam sepatu. Tanpa saya sadari, dan sibuk berbincang dengan teman, ternyata saya menginjak beling kaca yang merobek kaki saya. Saya merasa terkejut. Kemudian saya berfikir untuk stay positif, ya sudah saya biarkan saja toh lukanya juga lama-kelamaan akan mengering dengan sendirinya tanpa bersusah-payah membeli plester ke warung terdekat. Itulah salah satu bentuk selalu berfikir positif.Â
Tapi ya, memang luka yang dapat dilihat dengan kasat mata pasti akan selalu gerak cepat (gercep) mengobatinya. Beda dengan luka dalam pikiran, paling-paling menganggap diri lemah nan cengeng.Â
Dikutip dari BBC News Indonesia, Iris Mauss, psikolog  Universitas California, Berkeley, berkata: "Ke manapun Anda melihat, Anda menemukan buku tentang betapa kebahagiaan baik bagi Anda, dan bagaimana Anda seharusnya membuat diri Anda semakin bahagia, hampir seperti tugas.Â
Berusaha untuk melihat segala sesuatu hanya dilihat dari sisi positifnya, dan meminggirkan sisi negatifnya akan menimbulkan rasa kecewa. Yah, tidak apa-apa juga merasa kecewa, karena itu juga alarm untuk kita. Bahwa ada yang tidak sesuai dengan harapan kita sendiri.Â
Selalu berfikir tanpa kita sadari, kita akan mengisolasi diri. Ketika ke trigger "teringat masalah" Oleh kejadian tertentu yang sedikit ada hubungannya dengan masalah ini, membuat kita akan kehilangan gairah itu sama sekali. Ini, menyebabkan kehilangan kemantapan dalam hidup.Â
Penyangkalan atau denial terhadap emosi negatif dalam jangka waktu lama itu menyebabkan efek yang serius, seperti stres berat, cemas atau sedih yang berkepanjangan, gangguan tidur, penyalahgunaan obat terlarang, depresi, dan PTSD.