Diatas 3.265 Mdpl, tanggal 30 Desember 2024, ia melihat kabut yang bergerak serentak membayangi mentari yang berpijar harapan di bawah sana. Fendi terdiam merenung melihat, hujan sekarang tak hanya bulan juni melainkan bulan desember juga. Sapardi sudah merengkuh doa dalam puisi, menjadikanya tiada. Desember adalah hal paling berat bagi efendi, puncak derita yang dialami. Setelah kehilangan nenek tersayang nya, dalam keadaan sakit. Juga ibunya yang sempat sakit karena diabetes, tapi sudah sembuh, tapi kali ini ia pergi ke puncak, Ia harap ingin melihat dirinya sendiri, menghadapi ujian apa lagi  yang datang. Seperti seorang sisifus tokoh karya Albert Camus, seseorang yang mendorong batu sampai ke puncak, seperti itulah penderitaan manusia tak kunjung usai, bahkan absurd.
Adapun kunjungan nya di gunung lawu adalah menyamun doa- doa yang sudah basi ditelan kenyataan, bahwa ingin tak selalu menjadi kemauan. Ia duduk ditemani sebungkus Surya Nusantara kretek, dan secangkir kopi hangat.. mendaki seorang diri, adalah hal yang menakutkan kebanyakan orang, tapi efendi mampu menjalani itu semua.
Akhir tahun tinggal menghitung hari, banyak yang suka membakar- bakar makanan, reuni bersama keluarga, menyalakan petasan. Efendi hanya ingin sedikit membakar rasa pesimisnya terhadap dunia, kenyataan dan penderitaan. Juga ingin reuni bersama harapan dan cita- cita kecilnya dahulu yang sempat menghilang. Kemudian menyalakan doa dalam langit yang hujan.
Desember. Pukul 19.33 Â malam, kedua matanya menatap bintang- bintang ditengah hutan yang hujan, mata- mata yang meliris, embun- embun yang menangis. Ia membuka note menuliskan apa yang sudah dilaluinya. Kesendirian dalam puncak gunung membawanya dalam posisi tenang daripada merinding dengan adanya hantu. Menurut efendi hantu yang asli adalah ketakutan kita sendiri yang tak mampu untuk menghadapi dunia ini. Sebatang rokok dinyalakan ia, melihat galeri- galeri yang terisi, banyak hal yang tak ingin ia lihat tapi mau tak mau ia melihatnya. Sebagai sebuah pelajaran yang panjang.
Melihat bintang- bintang yang temaram, kedinginan yang menusuk punggung. Ia ingin berdoa dalam kesendirian. Bahwa ia tidak kehilangan dirinya. Tiada teman di puncak hanya angin- angin yang berseliweran menunggu pagi. Ketika mengingat perjuangan nya sebelum kepuncak, ia sempat tersesat dari jalur pendakian yang tak biasa. Tapi seekor gagak menemaninya sampai ke puncak dan ia berhasil selamat. Walaupun nyawa jadi pertaruhan nya. Akhirnya pukul 21.00 ia membereskan api unggun dan kemudian tidur di tenda dengan lelap.
Pukul 23.30, telepon nya berdering tapi pada posisi itu tidak ada sinyal sama sekali. Tapi entah mengapa telepon nya selalu berdering, dan ternyata ia salah menggunakan alarm yang seharusnya pukul 7 pagi malah kebangun pukul tengah malam. Suara berisik dalam rerimbunan semak- semak, ia yang bingung dan posisi bangun tidur yang mendadak, ia usapkan kedua matanya dengan telapak tangannya. Ia membuka tenda, melihat dari jauh semak seperti seseorang yang sendirian membawa obor api. Ia yang penasaran ingin menghampirinya, tanpa tahu waktu itu adalah tengah malam.
Hawa dingin menusuk kembali efendi, ia memakai jaket kemudian menghampiri sosok yang membawa obor tersebut. Perasaanya gelisah, diatas pucuk gunung, hanya dia seorang, lantas siapa yang membawa obor itu?
Ia berusaha mendekatinya ternyata orang yang membawa obor itu duduk di potongan kayu. Ia menghampirinya ternyata ada seorang pria tua, dengan janggut putih berpakaian jaket kuno, bercelana jeans lama, kedua mata pembawa obor itu serius menatap efendi seolah sudah tahu, bahwa efendi akan kesitu.
*Bunyi burung hantu, jangkrik muncul tiba- tiba dengan keras*
Efendi yang kedinginan sambil menutupi tubuhnya dengan selimut. Kemudian duduk disebelah pria tua itu. Kemudian pria itu hanya sedikit tertawa kecil.