Menurutku konsistensi hampir sama dengan istiqomah, yang membedakan ada hal- hal spirituil yang seharusnya diaduk disitu layaknya secangkir kopi. Kesunyian mengajari kita bahwa dari lahir sampai mati kita yang akan berdiri sendiri. Tetapi jangan lupa kita disini adalah anggota kehidupan, sudah selayaknya sebagai anggota berpartisipasi membuat kemanfaatan untuk urusan hidup.
    Aku tidak mau hal- hal yang rumit sudah seharusnya hidup seperti puisi, yang harus mencari maknanya sendiri. Bukan seperti birokrat yang mencari untung pribadi, katanya korupsi yang adil dan merata. Boleh beda argumentasi tetapi sama rata cuanisasi.
     Dalam kebisuan, mulut kita terdiam merenungkan segala sesuatu yang seharusnya tidak penting, aku membenci ritual ibadah karena terkadang kita lupa untuk apa ibadah?. Padahal senandung firmanya berulang kali kita baca, tetapi kita kerap kali lupa. Ku kira maksiat terbesar adalah "lupa" tapi kita kan manusia? Terus bagaimana? Begitulah hidup dalam ujian probabilitas(untung atau merugi), sebuah tanda tanya yang besar.
   Ingatlah, Tuhan menciptakan malam untuk kita berdoa dan berharap dengan tenang, bukan mengundang burung- burung yang berisik dalam kepala. Bila itu datang it's okay, berilah ia makan dengan beberapa kata- kata yang menenangkan hati dan jiwa. Bacalah, Bacalah dengan nama Tuhanmu Yang Maha Mulia.
   Beberapa nama Tuhan yang beragam bukan sebuah jimat. Tetapi ada peran yang terselubung, jika kita menyebutnya. Ingat sekali lagi, mereka yang sengaja hadir dalam ruang kesunyian, seharusnya mengajak makan malam(dzikir) dalam ketenangan dengan Kekasih. Amiiin
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H