Mohon tunggu...
Krisna Wahyu Yanuariski
Krisna Wahyu Yanuariski Mohon Tunggu... Jurnalis - Pendongeng

Enthos Antropoi Daimon (Karakter seseorang ialah takdirnya)- Herakleitos Seorang cerpenis di kompasiana, ia juga penulis buku "Fly Away With My Faith", juga seorang Mahasiswa UIN SATU Tulungagung, ia juga jurnalis dan kolumnis di beberapa media. Instagram @krisnawahyuyanuar W.a 081913845095

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Berteman Kegelapan untuk Lillah

8 November 2022   20:13 Diperbarui: 8 November 2022   22:25 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rintikan hujan telah membasahi eluh, dan dingin semakin menusuk tubuh, terisak- isak dipinggiran lampu lalu lintas yang sunyi menari- nari, menghempas sebagian harapan anak itu  yang mencoba untuk menjadi badut dewasa, ringkai tubuhnya dengan ekpestasi dari tuntutan kehidupan, dia diam sendiri mengadu sepi dengan sebungkus nasi tanpa lauk, terlinang dipipi kecilnya, ia kehilangan semuanya.

             

Menjadi kecil untuk dewasa bukanlah yang diharapkanya, tetapi itulah ia mengais senyuman dari orang- orang, menjadi kasur untuk setiap punggung yang lelah, dan menjadi tisu untuk setiap mata yang menangis. Pertanyaan kerap kali terbesit dalam pikiranya, dia mau jadi apa?. Kerap kali malam selalu menemaninya, dari siang yang penuh gemuruh bahagia kepalsuan. 

Kali ini ia sendiri, dengan hujan, jalan, langit, menatap keatas, ia meminta dalam hati "Aku mau Gula", sontak saja petir menggelegar seolah menolak pinta dalam hatinya.
          

Setelah makan, ia selalu mengusap kedua matanya, berdiri kokoh, menapak jalan yang seharusnya dilanjutkan. Dalam kesepian ia tidak pernah menyalahkan diri sendiri, tetapi selalu bertanya "Akankah kehidupan selalu begitu?". 

Berjalan sendiri diantara malam- malam tanpa bintang bukanlah hal yang mudah, kerap kali ia menangis menjerit, tetapi tidak ada yang mendengar jeritan tersebut. Ia paksakan jalanya lebih cepat lagi, berlari melaju kedepan melampaui angin, ditengah jalan ia terjatuh tersungkur juga, dihadang oleh nyanyian caci manusia, ia menjerit kembali tetapi usahanya tidak berpengaruh, ia paksa berdiri lebih kuat lagi, tetapi kali ini ia berjalan. 

Dan lagi- lagi langkah kakinya patah- patah, ternyata jalanya kian menanjak, dia berusaha menanjak lebih keras tetapi jalanya terlalu licin oleh tuntutan, yang memaksa ia terpeleset dan jatuh kembali. Ia menangis dan menjerit sekeras- kerasnya, percuma. Negeri itu selalu malam, semuanya asyik tidur tidak mendengarkan pertolonganya.   

Padahal tangisan itu sangatlah kencang, hingga seluruh bintang di langit pikiranya bertebangan. Kini ia paksa berdiri lagi walau kakinya cidera, ia berjalan lirih, mengesot menuju kedepan, tetapi jalanya semakin becek dan banyak duri menancap disekitar tubuhnya. Ia merasa sakitnya bertambah parah, malam menunjukan waktu tengah malam tiada siapapun yang mendengar pertolonganya.

Pada suatu ketika, kala ia berhenti menangis kembali, namun tidaklah menjerit, hanya pasrah, dari dalam tubuhnya gumirat akan cahaya, tepat di tengah dadanya, ia terkejut ada apa dengan tubuhnya, ia periksa kembali, dan merabanya tetapi cahaya tetaplah berpijar, hingga jalan yang dilaluinya menjadi terang benderang, lebih dari pijar lampu jalanan. 

Kini ia mencoba berdiri kembali dan berpijak sebuah tongkat lusuh disebelahnya, ia bangun berdiri secara perlahan, tak terasa duri- duri runtuh, dan luka kembali sembuh. Jalan yang semula gelap gulita, dengan cahaya didadanya kini atmosfer berubah drastis, pelangi- pelangi bertebaran dipinggiran jalan, siutan burung- burung kenari terdengar, langit mulai pudar menjadi biru muda, dari arah timur mentari yang berwarna putih, terang sekali, mensilaukan pandangan kini naik perlahan- lahan. 

Dia semakin terheran- heran ada apakah semua ini?, Siapakah dibalik semua ini?, Dan doa yang mana?. Simpul senyumnya mulai terukir sumringah, kini ia berjalan perlahan- lahan mendekati mentari tersebut, kini keihklasan menyertainya berkamuflase menjadi bunglon yang meloncat entah dari mana, menginap di pundak kanannya, dan burung beo yang menukik juga menginap di pundak kirinya ternyata itu adalah kesabaran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun