Mohon tunggu...
Krisna Wahyu Yanuariski
Krisna Wahyu Yanuariski Mohon Tunggu... Jurnalis - Pendongeng

Enthos Antropoi Daimon (Karakter seseorang ialah takdirnya)- Herakleitos Seorang cerpenis di kompasiana, ia juga penulis buku "Fly Away With My Faith", juga seorang Mahasiswa UIN SATU Tulungagung, ia juga jurnalis dan kolumnis di beberapa media. Instagram @krisnawahyuyanuar W.a 081913845095

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mentari Baru untuk Wanita Malam

1 November 2022   12:32 Diperbarui: 1 November 2022   12:48 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kereta telah melampaui awan di atas cakrawala, hembusan angin menyelinap dalam jendela, pepohonan berdendang melambai angan diatas harapan. Dua tahun yang lalu, kita berjumpa di stasiun ini, kala mendung bergemuruh, kau kebasahan kesepian, diselimuti gelapnya pinggiran rel, Aku melihatmu sendirian membatu, jiwaku sontak mendengar suara hatimu, jaketku lepas menaungi dirimu ditempat ini, sorot mata yang teduh, seolah mendamaikan hari- hariku yang menggeliat akan panasnya terik perjalanan, simpul senyumnya berdawai menyanyikan lagu "Elvis Parsley, Can't Help Falling in Love".
Kita berdua berdiri disini tanpa siapapun, menunggu pemberangkatan kereta terakhir. Inginku sapa dirimu dalam hati, tetapi kau lebih dahulu memperkenalkanya, "Terimakasih, Aku Ayuni".
Hatiku berdegup kencang, seolah malam begitu berisik untuk menyambut tamu yang indah melampaui bulan, "Baiklah Aku Steven, mau kemana, kok sendirian?" Diri ini mendorong untuk tetap terus bercengkerama dengan ayuni.
"Aku mau pulang, kurasa tempat ini menjadikanku sendiri, jadi aku putuskan pulang".
"Glegar.." gemuruh petir datang, hujan pun jatuh sendiri tanpa meminta, kereta datang percakapan pun berhenti, kita berdua segera menaiki kereta, sebelum kita kebasahan oleh keadaan.
 Didalam kereta kau memutuskan untuk duduk disebelahku, karena semua kursi dibelakang telah kosong hanya ada beberapa penumpang di belakang, kita duduk bersebelahan diam membantu tanpa kehirauan. Aku yang tetap ingin bertanya, ingin selalu berdekatan dengan nya, seolah hati ini tahu dimana tempat ternyaman untuk pulang, walau itu pertama kali, mustahil.
"Ehmm Ayuni, bolehkah aku tahu dimana rumahmu?"
Lalu ayuni menjawab dengan nada lugu, dan melirih seolah- olah bulan meredup dan burung- burung di luar kereta menangisinya.
"Aku... Mau pulang.., dimana aku bisa tenang".
Tak terasa kedua matanya yang seperti berlian, berlinangan air mata, aku pun mengambil kain dalam tas kecilku, dan menyeka kedua air matanya.
"Baiklah.. aku rasa kamu lelah tidurlah, lagian ini sudah mulai tengah malam, aku akan berjaga, bila nanti kereta berhenti, aku segera membangunkanmu".
Ayuni tertunduk lemah, ia mengangguk, Malam terlalu panjang untuk kehadiranya, tetapi aku merasa menemukan diriku didalam dirinya, ia tetap terus melihat jendela, sampai suatu waktu ia lelah dan terlelap dalam tidurnya, secara halus tak sengaja, tubuhnya menyender disampingku, tas kecilnya terbuka, terlihat foto usang, dan selembar tulisan yang berbentuk sajak, tulisan itu berbunyi.
"Bilamana kau hanyalah pemberhentian, dan aku hanya pelampiasan birahimu, biarlah aku berjalan meninggalkanmu, biar bulan mencari mentari lainya, Tuhan aku ingin bahagia, kemana aku harus pergi?"
Hatiku tersentuh, selama ini memang aku seorang penyair, tetapi tidak semua puisiku mengenai hati, tetapi hanya tulisan sederhana dari ayuni, mampu menggertak hatiku.
"Salah apakah dia wahai Tuhan, jika cinta hanya pergi hilang, dan tiada abadi. Kemana larinya kedamaian bila cinta hanya menjadi tempat, bukan menjadi puisi lalu abadi?.
Aku segera mungkin mengambil sebuah kertas, disaat tengah malam terlalu menggeliat, dan suasana kereta terlalu hening, mulailah ku tulis beberapa bait mantra untuk kehidupan Ayuni.

Saat mata, lelah untuk merintih sunyi.
Dan Cinta Nirmala tak kunjung kemari.
Masih ada semesta yang akan abadi.
Menjadi puisi di sepanjang hari.
Mengertilah.
Berdiri sendiri, ditengah gelombang laut.
Sendirian menatap langit, membuatmu takut
Jangan hancur, untuk berenang.
Bertahan, Kuat menahan apa yang berlinang.

Selagi Tuhan.
Menyelinap dalam setiap bait ini.
Aku yakin apa itu "Kebahagiaan"
Tanpa dicari, pasti kunjung kesini.

Apa yang kau takuti dari dunia..
Berdoalah, bila hatimu resah..
Aku tak berjanji, bila itu cepat reda..
Tapi hati akan mengerti kemana ia harus berkeluh kesah..

Berjanjilah kepada malam.
Untuk membuatmu terbenam.
Dari kebisingan menuju ketenangan.
Dari ketenangan terbang membawa arunika kebahagiaan

Setelah itu, bait- bait yang disusun dari sebagian semangat hidupku, ku selipkan di dalam tas ayuni, dan aku berjanji akan mencarinya, bila kereta ini berhenti. Dan Benar tidak usah ditunggu perpisahan sudah didepan mata, kereta berhenti di antara gerimis, Ayuni yang nyaman dengan pundak ini, inginku membangunkanya tetapi wajahnya yang permai, tersorot dari lampu- lampu kereta. Tak tega untuk membangunkanya, tetapi kereta ini harus beranjak pergi dan cerita kita harus berakhir singkat disini.
"Ehmm Ayuni, kereta sudah berhenti, apakah kau mau pergi?"
Ayuni pun bangun dan mengusap kedua matanya dan melihat keadaan sekitar, ia bertanya "Dimana ini?" Aku pun menjawab "Ini sudah di pemberhentian keempat, apakah kau ingin beranjak pergi" Ayuni menjawab "Baiklah, aku akan pergi, terimakasih Steven, telah menemani sebagian kecil hari- hariku, aku harap bisa bertemu lagi".
Kata- kata bertemu lagi, berdegup kencang dihatiku, aku meng- aminkan semoga itu bukan lagi harapan. Akhirnya kita pun berpisah, Ayuni pergi dan melambaikan tangan dibalik jendela kereta ini, singkat namun merasa bahwa aku kehilangan sebagian cahaya yang baru menyinari hati ini. Tetapi begitulah semua orang adalah warna, kita hanya bertugas melukiskan, sebagaimana indahnya dengan warna itu.
Bertahun- tahun aku selalu mengingat kejadian itu, berharap kamu membaca bait- bait doa yang ku tulis, hari ini aku rela meninggalkan pergi untuk mencarimu Ayuni. Aku mengerti kemana hati ini akan berhilir, ia masih dekat. Akan kucari sebisa mungkin.
Ternyata aku mendapat kabar dari berita Kompas Harian, bahwa Ayuni sedang akan membacakan puisi di festival "Malam Merindukan Sastra", di sebuah kedai yang berada di Yogyakarta. Dan aku telah sampai, dan tinggalah mencari tempat tersebut, acara berlangsung perkiraan jam tujuh malam, dan hari ini masih jam enam malam, segera saja aku tanpa beristirahat, pergi untuk menemuimu tanpa pikir panjang.
Masuklah kedalam kedai tersebut, aku melihat kursi- kursi tertata rapi, lampu- lampu berpijaran warna warni, sepoi angin malam bertamu di acara tersebut. Aku duduk baris tengah di antara pengunjung, sambil menunggu, aku kerap kali kehilangan wajahmu, tetapi hati tidak mudah untuk dibohongi, dari ujung selatan, langkah kaki yang lirih, anggun, seseorang berjalan menuju panggung memakai gamis dan kerudung biru laut, seperti cerminan kelapangan hatinya, perlahan- lahan ia mengambil mic, dan musik menemaninya, tak kusangka, bait- bait yang ku tuliskan dibacakan olehnya, siapa gerangan wanita itu, beraninya membaca bait- bait mantraku untuk ayuni. Aku berteriak
"Hey berhenti, siapa kau apakah kau ayuni?"
Semua mata terbelalak melihatku, wanita itu pun terdiam.
"Ayuni.. aku yakin kau, apakah kau ingat aku?"
Wanita itu terdiam sebentar, lalu menangis lirih, berlari dan memeluku. Pelukan itu masih sama seperti dua tahun yang lalu, aku yakin ini ayuni, dia telah berubah menjadi lebih baik, terimakasih Tuhan. Kini kau telah mempertemukanku denganya dua kali, sudah lama aku mencarinya, burung- burung hendak membawa kabarnya, tapi hati tahu ia akan kemana.
Aku mendekapnya dengan penuh kedamaian semesta, dengan hangat kerinduan panjang.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun